Kamis, 04 Desember 2008

TILAM PETHAK PUTRI KINURUNG


KERIS DHAPUR TILAM PETAK / TILAM UPIH
Ricikan : Keris leres, Gandik polos, tikel alis, pijetan
Pamor Ganja : pamor winih: dipercaya mempunyai daya untuk “menumbuhkan” suatu harapan. Juga dianggap baik bagi mereka untuk berdagang atau wiraswasta karena baik untuk pengembangan modal.
Pamor Sor-soran : Putri Kinurung Bentuknya menyerupai gambaran danau dengan tiga atau lebih “pulau” ditengahnya. Letaknya ditengah sor-soran. Tuahnya untuk memudahkan mencari rejeki dan mencegah sifat boros. Bisa diterima dikalangan manapun. Tidak pemilih
Bilah : rata pucuk njujen sate.



Pamor nyanak ngulit semangka: memudahkan mencari jalan rejeki dan mudah bergaul pada siapa saja dan dari golongan manapun. Pamor ini tidak memilih dan cocok bagi siapa saja.
Warangka kayu sawo – model gayaman surakarta,
Pendok perak bunton surakarta
Mendak tumbar pecah surakarta
Tangguh : Tuban

Keris dapur tilam baik untuk pria yang telah berkeluarga karena angsarnya membawa keteduhan dan ketentraman keluarga Tilam Upih, Patileman atau alas tidur, melambangkan kesejahteraan kehidupan berkeluarga. Dimana jika dalam rumah tangga, para anggotanya bisa tidur dengan nyaman, tentunya bisa dikata bahwa keluarga tersebut sejahtera. Orang yang bisa tidur nyenyak adalah orang yang sejahtera hidupnya, Tawakal, jadi bersyukurlah kita yang bisa tidur nyenyak tanpa ketakutan akan kemalingan atau dirampok atau kebanjiran, apalagi akan tergusur
Asal : AGS


Rabu, 03 Desember 2008

MERAWAT PUSAKA

MERAWAT & MENJAMAS PUSAKA
Menjamas pusaka adalah proses merawat dan menjaga pusaka hingga tetap bebas dari karat hingga terjaga dari kerusakan. Proses merawat pusaka ini mulai dari proses membersihkan dari karat / mutih, mewarangi, hingga meminyaki dan memberi wewangian pada pusaka. Keseluruhan proses ini disebut proses Jamasan Pusaka. Dan yang terpenting dari seluruh proses ini adalah sikap batin kita yang harus “nderek langkung” alias permisi, menghormati dan tidak meremehkan. Hal tersebut merupakan penghormatan kita atas kerja sang empu dan atas berkah Tuhan atas pusaka tersebut.

I. MENCUCI PUSAKA / MUTIH
Syarat mutlak agar bilah keris bisa diwarangi dengan baik, adalah bilah harus diputih dengan baik terlebih dulu, setelah terlebih dulu dibersihkan dari berbagai noda, kotoran atau karatnya – termasuk warangan yang terdahulu / lama / bekas. Cara ini disebut “mutih”.

Salah satu cara tradisional mutih adalah :
Rendam bilah keris dengan air kelapa tua (asam lemah) selama beberapa hari, bergantung kadar kotoran dan karatnya. (air bisa ditaburi dengan bunga setaman)
Gosok bilah dengan jeruk nipis sehingga menjadi putih keperakan
Buah lerak dibuang isinya dan diberi sedikit air dalam mangkok agar berbusa. Dengan sikat halus, gosok keris yang telah dimandikan tadi dengan air lerak. Saat menggosok keris dengan sikat jangan dibolak-balik. Sebaiknya mulai dari pesi sampai ganja terus ke awak-awak hingga pucuk. Lakukan dengan pelan dan mantap hingga benar-benar bersih. Lebih hati-hati lagi jika membersihkan keris kinatah atau keris yang kembang kacangnya sudah sangat tipis.
Lakukan pada bilah keris baliknya.
Setelah benar-benar bersih, keringkan dengan menggunakan kain bersih dengan cara memijit-mijitkan kain ke seluruh bagian.
Keris yang telah kering disiram dengan air bersih dan keringkan kembali – seperti sebelumnya.

Beberapa cara yang lain untuk mutih :

1. Di rendam dalam air jeruk nipis.
Akan lebih baik dai perasan air jeruk nipis yang sebelumnya buah jeruk tersebut dikupas. Kulit jeruk bisa menyebabkan bilah keris menjadi kemerahan. Perlu dilihat waktu perendaman karena air jeruk ini bisa memakan bilah besi jika terlalu lama direndam. Jadi sering-sering di cek. Biasanya membutuhkan waktu sektar 6 jam - 1 hari tergantung kualitas warangan yang lama.

2. Jika ingin tidak terlalu makan besi, bisa menggunakan air kelapa tua.
Ini bisa membutuhkan waktu antara 2-5 hari tergantung warangan yang melekat pada bilah. Jika menggunakan cara ini, maka tiap hari kita perlu membersihkan keris dengan sabun colek. Setelah kering dan sabun bersih, maka dimasukkan lagi ke air kelapa. Tetapi jangan mengganti air kelapa tersebut. Dibiarkan saja menggunakan yang awal. Air kelapa juga bisa mengangkat karat dari bilah keris.

4. Jika ingin instant, bisa menggunakan air campur dengan serbuk sitrun.
Tetapi ini sangat tidak dianjurkan karena bisa membuat bilah keris berpori atau berbintik. Jadi serat besi akan hilang.

5. Cara paling ekstrim dan sangat tidak dianjurkan adalah dengan menggunakan cairan HCL atau Asam Nitrat. Ini sangat merusak keris walau keris bisa putih segera dalam waktu hanya sekitar 5 menitan.

Setelah itu keris dioles dengan jeruk nipis yang sudah di kupas dan dibelah menjadi 2 bagian. Bisa ditambahkan dengan abu gosok, dimana belahan jeruk dimasukkan ke abu gosok dan dioleskan ke keris. Cuci dengan air bersih. Barulah kemudian keris bisa menjadi putih sehingga siap diwarangi. Memutih bilah, bisa dilakukan siapa saja. Tidak perlu ahli. Setelah bilah bebas karat usai direndam air kelapa, dan disikat sabun colek jeruk nipis, ya tinggal disikat terus, pelan-pelan. Sesabar-sabarnya, sabun-jeruk-sabun-jeruk sampai nyaris "putih" kemilau, seperti seolah bilah dicat warna metalik. Jangan memutihkan keris dengan cara di ampelas atau apalagi di kikir.

II. MEWARANGI
Proses "memutih" bilah keris adalah kunci sukses pertama untuk mewarangi. Proses lainnya adalah "setelan" dalam membuat warangan yang pas untuk berbagai jenis bilah dan proses mewarangi itu sendiri.

Membuat Warangan
Bahan utama membuat warangan adalah Batu Warangan (serbuk warangan) dan air jeruk nipis.
a. Batu Warangan
Batu warangan yang bermutu bagus adalah batu warangan eks cina. Batu warangan sangat mahal (sekitar 2 jt rupiah per ons) dan sulit diperoleh. Hal ini karena memang barang seperti itu tidak banyak, juga karena adanya berbagai larangan di negara-negara tertentu (Singapura, misalnya) untuk pemakaian sembaran warangan, maka kelangkaan bahan warangan pun terjadi. Tak semudah seperti dulu. Apalagi, di Indonesia pun terjadi "praktek penyimpangan arsenik untuk membunuh Aktivis Munir...)
Sebenarnya batu warangan berbeda atau tidak seratus persen sama dengan arsenikum (Ar). Arsenikum yang dijual di apotik atau toko-toko kimia (sulit juga di dapat) biasanya dipakai sebagai campuran "agar warangan lebih galak". Akan tetapi, hati-hati - selain beracun, warangan kimia juga "lebih menggerogot bilah" karena kemurniannya, jika dibanding dengan "warangan alam" eks Cina.
Yang pasti, batu warangan - dan juga arsenik murni yang terkadang dijadikan katalis - sangat tidak mudah didapat di berbagai negara yang "sadar lingkungan". Bagaimana pun, warangan - utamanya arsenikum - adalah bahan yang berbahaya bagi keselamatan manusia. Soalnya, kandungan arsenik yang masuk ke dalam tubuh, biasanya menetap (bersifat akumulatif). Jadi kalau setiap hari tambah arsenik di tubuh kita, ya tentunya tumpukan unsur arsenik di tubuh kita semakin menggunung.
Batu warangan yang eks Cina, memang bukan "murni" arsenik. Di dalamnya terdapat pula kandungan kapur, belerang di samping tentu juga arsenik di dalamnya. Karenanya jika diperhatikan, ada batu warangan yang kekuning-kuningan, ada juga semburat ungu (violet) nya, serta ada juga yang dominan putih, dengan semburat warna jingga, kuning, dan lainnya. Sedangkan arsenikum apotik, tentunya murni hanya unsur arsenik.

b. Jeruk Nipis
Yang dipakai adalah jeruk nipis (Jawa: Jeruk Pecel), bukan jeruk lemon atau jeruk purut. Jeruk nipis dikupas kulitnya dengan pisau kecil, agar cuma tinggal kulit dalamnya. Hal ini karena cairan "sereng" yang keluar dari kulit jeruk tak baik untuk melarutkan warangan. Malah mungkin "memperburuk" mutu warangan.
Cara memeras jeruk ada tekniknya sendiri - baik untuk mutih maupun terutama untuk bahan cairan warangan. Kelihatannya sepele, tetapi sebenarnya tak demikian.
Ada beberapa cara memeras jeruk. Bisa pakai alat (dibelah dan diputar-putar dalam alat perasan jeruk yang biasa untuk minuman perasan jeruk), atau "fully manual" alias dengan tangan hampa saja. Jeruk dibelah membujur - sesuai dengan serat pada belahan jeruk. Malah lebih mudah dan enteng lagi, jika diprapat, atau malah diperdelapan.Hilangkan bijinya, lalu peras di atas rantang atau waskom yang sudah lebih dulu ditutupi saringan teh-kopi. Peras, dan sekaligus pelan-pelan disaring. Karena perasan jeruk biasanya katut (terikut) ampasnya, maka memerasnya pun harus cukup sabar. Ampas perasan jeruk pun masih bisa diperas lagi pakai kain kaos, lalu dipencet di atas saringan teh. Setelah rantang cairan hasil perasan jeruk terisi, maka tuang cairan ke dalam botol dengan "corong" yang juga - sekali lagi - diberi saringan, berupa kain kaos yang tak terlalu rapat lubang-lubangnya.
Jadilah sudah, "air jeruk" murni yang bening. Tinggal diletakkan beberapa hari -- bisa juga beberapa bulan di botol, maka larutan jeruk akan mengendap sendiri dan menghasilkan larutan jeruk yang sangat bening... Untuk membuat warangan dibutuhkan sekitar 15 kg jeruk nipis sehingga menjadi sekitar 1,5 liter air jeruk

c. Meramu Warangan
Soal "meramu larutan warangan". Ini juga penting, lantaran apabila kita belajar mewarangi, tentu tak lepas pula dari membuat warangan. Larutan yang kalau dimasukkan dalam botol, warnanya mirip Coca Cola yang lebih pekat ini, adalah "harta karun" bagi mereka yang hobi atau ahli mewarangi.

Biasanya, jika kita ingin membuat larutan warangan baru, dibutuhkan juga "bibit warangan yang sudah jadi dan berkualitas bagus”. Bibit yang dibutuhkan tidak perlu banyak, cukup secangkir saja untuk seliter larutan warangan baru. Kegunaan “bibit” ini adalah sebagai katalisator, agar warangan baru bisa bereaksi. Jadi atau tidak jadi warangannya, bisa dilihat dengan memasukkan paku yang diikat dengan benang ke dalam botol larutan. Warangan yang jadi, akan segera "menghitamkan paku" yang digantung benang seharian.

Cara membuat larutan baru:
Pertama-tama mengendapkan dulu hasil perasan air jeruk. Botol berisi air jeruk, kita biarkan berhari-hari di tempat yang tenang. Anda akan melihat, cairan jeruk terpisah dua warna - bening di bagian atas, dan keruh atau pekat-endapan di bagian bawah. Ambil botol kaca yang kosong, lalu tuang yang bening (bagian atas) ke botol baru. Endapan jeruk nipis jangan dibuang, akan tetapi sendirikan dalam botol lain. Endapan ini bisa digunakan untuk bahan "memutih bilah". (Jika diendapkan terus, sebotol endapan ini juga akan menghasilkan jeruk bening bagian atasnya, yang tentu saja bisa kita pindahkan ke botol jeruk bening yang pertama).
Dalam waktu lebih dari tiga bulan atau berbulan-bulan, jeruk bening di dalam botol akan berubah warna. Dari semula kuning agak gading, menjadi "kuning semu oranye", agak tua. Jeruk inilah yang akan dipakai untuk bikin larutan warangan baru. (Ada juga yang tak perlu melalui proses "pembeningan" jeruk, tetapi langsung saja perasan jeruk nipis dicampur dengan bubuk batu warangan baru. Risikonya, di masa datang warangannya ada endapan jeruknya).

Selanjutnya adalah melarutkan warangan. Caranya sederhana saja. Tumbuk (lumatkan) dulu batu warangan, biasa dengan "deplokan" (mangkuk pelumat) yang biasa dipakai untuk mendeplok obat di apotik-apotik. Biasanya, mangkuk-pendeplok ini dari bahan porselen tebal, lengkap dengan alu-pendeploknya yang juga dari porselen. Banyak dijual di kios-kios obat di Pasar Rawabening, Jatinegara Jakarta. Atau, toko-toko obat.

Berikutnya adalah melakukan pencampuran antara perasan air jeruk dengan bubuk warangan tadi. Komposisinya adalah sangat etrgantung pada hasil yang diharapkan karena pada setiap jenis besi terkadang harus dilakukan “adjustment” dengan cara menambahkan air jeruknya.

Untuk memancing agar warangan baru bisa cepat "jadi", selain di-katalisasi dengan secangkir warangan yang sudah joss, juga botol berisi warangan itu "dijemur di terik matahari. Ada juga cara lain dengan "nasi basi", atau nasi yang sudah lembek, kecut.
Bisa dibilang tidak ada warangan manapun yang langsung jadi. Harus distel dulu. Umumnya jadi tiga jenis warangan, yakni warangan "galak", setengah "galak", dan warangan "nom" atau lambat-reaksi untuk bilah-bilah dengan jenis pamor yang sanak.

Warangan lebih dulu “diadjust” dengan cara coba-coba celup bilah percobaan yang sudah diputih. Jika dirasa "kurang galak", maka bisa ditambahkan perasan jeruk nipis aga lebih “galak”. Hal ini butuh "feeling" dan pengalaman tersendiri. Bilah "majapahitan" biasanya "langsung nyamber", gampang diwarangi. Tetapi bilah-bilah tua lainnya dengan pamor sanak akan sulit diwarangi. Butuh “adjustment” warangan tersendiri.
Seorang ahli warangan yang baik, akan memiliki beberapa jenis larutan warangan yang akan dipakai untuk jenis logam/besi yang berbeda-beda pula. Bahkan tak jarang mereka punya larutan warangan untuk beberapa jenis tangguh, jika tangguh dianggap mewakili jenis-jenis logam yang berbeda. Dia juga akan melihat 'hari baik' untuk mulai proses mewarangi, biasanya saat cuaca terang dan matahari bersinar dengan cerah (sebagai katalis).

Beberapa Metode Pewarangan

Hasil proses mewarangi dipengaruhi setidaknya tiga variable yaitu: jenis logamnya, kualitas ramuan warangan (bubuk warangan, air jeruk, dan katalisnya juga proses adjustment-nya), serta cara melakukan pewarangan. Untuk hasil optimal, ketiga variable tadi harus dalam kondisi yang 'saling mendukung'.
Ada juga sebelum diwarangi,wilah yang sudah diputih dijemur dulu biar cukup panas sebelum dicelup dalam larutan warangan. Ada juga yang pakai metode 'staging' yaitu mewarangi dengan beberapa tahap, dimulai dari tahapan 'warangan enom/muda' setelah itu meningkat ke 'warangan tua' sehingga bilah semakin menghitam. Dalam hal ini terdapat istilah kalau bilah terlalu hitam setelah diwarangi disebut 'warangane ketuan / warangannya terlalu tua'.

Secara garis besar, ada dua metode mewarangi :

a. Cara Di-koloh
- Siapkan warangan yang telah dicampur air jeruk
- Rendam pusaka dalam cairan warangan itu – beberapa kali sekitar setiap sepuluh menit diangkat dan diangin-anginkan sambil dibantu dengan pijitan tangan hingga meresap.
Mencelup / merendam bilah dalam warangan pun, tidak sembarangan. Disini diperlukan pengalaman empirik, yang sulit dituturkan dalam tulisan. Yang pasti, setiap upaya mewarangi, pasti sering terbentur kegagalan. Jika gagal? Ya "kembali ke laptop", diputih lagi. Begitu seterusnya

b. Cara Di-nyek
- Pusaka dijemur hingga panas lalu dilumuri warangan secara langsung dengan cara dipijit-pijit (di-nyek) hingga kering
- Setelah kering dijemur lagi dan kemudian kembali dilumuri warangan dan dipijit-pijit. Begitu seterusnya hingga tiga kali.
- Siapkan air jeruk dicampur dengan air buah klerek/air sabun lalu pusaka dikeplok dengan kedua genggaman tangan dibersihkan dengan air bersih lalu dijemur lagi
- Setelah itu kembali ke proses awal … hingga beberapa kali sambil diamati bagian per bagian. Semakin lama maka warna pusaka semakin kereng (gelap), hingga guwaya pusaka menjadi bagus. Biasanya pengulangan hingga sembilan kali. Setelah yang terakhir, dibilas hingga bersih dari bercak merah warangan yang tidak menempel.

Menjamas dengan cara di-nyek memang sangat membutuhkan banyak warangan. Keunggulan cara ini adalah membuat pamor tidak mubyar melainkan kelem dan angker, serat atau lapisan yang sering disebut pamor sanak pada besi keleng dapat tenggelam dalam nuansa wingit. Namun hasil metode ini kadang dirasa kurang kontras, jika dibandingkan dengan yang "koloh".

III. MEMBERI WEWANGIAN DAN MEMINYAKI PUSAKA

Berbeda dengan tahap sebelumnya, tahap ini merupakan tahap yang kerap diulang-ulang hingga sebulan sekali, terutama bagian meminyaki keris. Tahap ini disebut pula tahap pemeliharaan yang menjaga agar keris tidak berkarat.

1. Memberi Wewangian

Setelah keris diberi warangan, ada baiknya jika keris diberikan wewangian dupa terlebih dahulu. Caranya :
- Pertama-tama olesi keris dengan minyak pusaka tipis saja. Ambil campuran bubuk gaharu, ratus dan ramasala – taburkan pada bilah keris hingga lengket – biarkan beberapa menit.
- Setelah itu nyalakan lilin – taruhlah di atas lilin dengan jarak lima jari – gerakkan ke kiri ke kanan. Biarkan hingga beberapa saat (tidak perlu sampai terbakar!)
- Bersihkan dengan sikat halus.
- Gosok lagi dengan minyak pusaka tipis saja seperti di atas.
- Taburi dengan bubuk kayu cendana dan taruh di atas lilin seperti tadi.
- Setelah itu bersihkan lagi dengan sikat halus – diamkan beberapa saat.
Olesi dengan minyak pusaka. Angin-anginkan dan jangan tergesa dimasukkan dalam warangka. Jangan menimpan keris di tempat yang tertutup rapat tanpa sirkulasi udara.

2. Membuat Minyak Pusaka
Cara membuat minyak pusaka adalah :
- Minyak paraffin 60 cc
- Bibit cendana (sandalwood) 25 cc
- Bibit Melati Keraton 5 cc
- Bibit Kenanga 10 cc
Bisa juga ditambah atau diganti dengan bibit minyak lainnya (gaharu, dsb) sesuai selera karena bersifat sangat subjektif dan terkadang aroma / bau keris juga menunjukkan identitas pemiliknya. Sangat dilarang mencampurkan bahan parfum atau jenis yang beralkohol – pasti keris menjadi merah berkarat.

Disadur, dirangkum, dikombinasikan, dikliping dari :
1. Milis FDK (Forum Diskusi Keris)
2. Majalah Pamor Edisi 03
3. Majalah Pamor Edisi 05
4. Haryono Haryoguritno, “Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar”, Indonesia Kebanggaanku, Jakarta, 2005
5. Bambang Harsrinuksmo, “Ensiklopedi Keris”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
6. Koesni, “Pakem Pengetahuan tentang Keris”, Aneka Ilmu, Semarang, 1979
Philosofi Nama Dapur BROJOL
Disadur dari Majalah PAMOR Edisi 08 – Tulisan Wawan Wilwatikta

Brojol Sebagai Simbol Kelahiran
Dalam masyarakat yang memandang keris dari sisi esoteri, seringkali dapur ini dikaitkan dengan tuahnya “memperlancar kelahiran jabang bayi". Sehingga mungkin banyak orang yang menganggap keris ini hanya cocok untuk mereka yang berprofesi sebagai dukun bayi. Benar dan tidaknya mengenai tuah tersebut, hanya Tuhan yang mengetahui. Namun di sisi lain, dijumpai bahwa banyak masyarakat yang memperoleh pusaka warisan keluarga berdapur Brojol, meskipun mereka bukan dari keturunan dukun bayi.
Dapur Brojol, sebagaimana dapur keris lainnya merupakan suatu karya yang mempunyai muatan spiritual berupa ajaran-ajaran hidup. Secara terminology, brojol memang identik dan terkait dengan masalahi kelahiran. Brojol merupakan ungkapan peristiwa kelahiran jabang bayi ke dunia.. Keris berdapur brojol, sebagai simbol kelahiran bayi sebenarnya bukan pada proses kelahiran itu sendiri (mbrojol-lahir) yang akan disampaikan, akan tetapi ditujukan pada kesucian jabang bayi yang baru dilahirkan, yaitu fitrah manusia.
Ajaran-ajaran Jawa disampaikan penuh dengan pengetahuan esoterik yang merangsang angan-angann dan perenungan. (Niels Mulder, 2001:129). Penafsiran yang dilakukan sangat tergantung wawasan dan pengalaman masing-masing pribadii yang sangat subjektif. Dalam budayal suatu ajaran yang dianggap penting jika disampaikan tanpa simbolisasi tentu menjadi tidak menarik dan juga kurang menyenangkan, karena disampaikan secara biasa-biasa saja (polos) dan tegas. Sebaliknya semakin tersembunyi (simbolik) dan semakin rumit maka akan semakin menarik dan makin mengembangkan pemikiran.

Fitrah Manusia
Fitarh manusia merupakan potensi dasar yang ada pada manusia untuk percaya adanya Tuhan dan selalu condong kepada kebenaran. Fitrah ini diciptakan dan bersumber dari Tuhan. Oleh karenanya, fitrah manusia mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan manusia selalu kembali dekat kepada Penciptanya.
Pada hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu merindukan kedamaian dan ketenangan. Jauh di dalam lubuk hati manusia, pada dasarnya selalu ada kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan agama yang benar. Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya, fitrah yang diajarkan agama.
Fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan membutuhkan adanya Tuhan Sang Pencipta. Dengan kecenderungan fitrah inilah manusia - bagaimanapun ingkarnya dia - ketika ia dalam keadaan tak berdaya, maka tetap akan mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Inilah hakikat fitrah manusia.
Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Tuhan, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. la akan merasa bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Tuhan. Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian Tuhan, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Prinsip kebaikan ini diakui oleh seluruh umat manusia, sedangkan perilaku yang tidak baik akan senantiasa mengantarkan manusia menuju kehinaan dan kesengsaraan.
Ironisnya, banyak di antara kita yang melupakan fitrah insaniyah (kemanusiaan) kita. Sebagian besar kita justru dipengaruhi, bahkan dikuasai oleh nafsu. Kita sering menjadikan nafsu sebagai illah (Tuhan) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ajaran agama Tuhan secara tegas mengecam para budak 'nafsu'. tidak lain seperti halnya binatang yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Betapa nista dan hinanya sebutan padanan yang diberikan Tuhan kepada para pemuja nafsu. Mereka diibaratkan seperti binatang, bahkan jauh lebih hina dari binatang. Inilah saat ketika manusia tergelincir berbuat kejahatan yang menghinakan dirinya serta menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan agamanya. Manusia diciptakan sebagai mahluk paling sempurna, karena dikaruniai akal. Akal akan menuntun manusia untuk menentukan derajatnya, apakah di bawah binatang atau bahkan di atas malaikat.
Dalam pandangan jawa ada dua macam nafsu yang sangat menghalangi nilai kemanusiaan, yaitu: hawa nepsu (nafsu-nafsu) dan Pamrih ( Egoisme). Tak perlu disebutkan disini bermacam nafsu, namun secara umum ada idiom yang di sebut Ma Lima, yaitu: Madat (nyandu obat terlarang), Madon (main perempuan. selingkuh, seks bebas), Minum (Mabuk), Maling (mencuri, menipu, korupsi), Main (judi).
Hawa Nepsu yang tidak baik, merupakan perasaan dan tindakan kasar yang melemahkan control diri manusia sehingga dapat melemahkan kekuatan batin. Orang yang dikuasai nafsu menunjukkan bahwa akal budi belum menduduki pengendalian iiwanya. Manusia semacam itu tidak lagi mengembangkan segi-segi halusnya (perasaan) dan kerbanyakan akan menimbulkan konflik dan pertentangan, baik dalam keluarga maupun dalam dalam lingkungannya dan masyarakat.
Halangan yang kedua yaitu Pamrih (egoisme). Bertindak oleh karena pamrih berarti hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain bahkan seringkali merugikan orang lain. Pamrih merupakan sikap yang memperlemah manusia dari dalam. Pamrih terutama terkait dengan tiga nafsu, yaitu : Nepsu menange dewe (menganggap dirinya paling berkuasa), Nepsu benere dewe (menganggap dirinya yang paling benar), dan Nepsu butuhe dewe (hanya memperhatikan kebutuhan diri sendiri).
Dua macam nafsu tersebut menjadi halangan manusia mencapai Fitrah yang telah diberikan oleh Tuhan. Banyak keinginan manusia diluar kebutuhannya. Manusia yang telah dikuasai oleh nafus selalu berusaha untuk memenuhi segala keingannnya tanpa batas, meskipun ditempuh dengan cara-cara yang merendahkan derajat/martabatnya (suap, korupsi, menipu orang lain, mencuri dan sebagainya).
Hasil tersebut dapat memenuhi keinginan manusia untuk memperoleh uang dan harta yang melimpah, rumah mewah, mobil berkilap, sandangan serba bergengsi, gaya hidup hedonisme/konsumtif dan sebagainya. Meskipun hal tersebut dapat diperoleh, akan tetapi dari lubuk hari yang paling dalam, ada perasaan tidak tenteram, merasa berdosa, itulah fitrah yang diberikan Tuhan pada manusia.
Bagi manusia yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia tidak mau merendahkan derajatnya, ia bahkan akan selalu berusaha untuk mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaannya. Tetapi bagi mereka yang telah dibutakan mata hatinya oleh dekapan nafsu, la akan terlena dan terbuai, tidak mempedulikan lagi fitrah kemanusiaannya yang suci. la akan terlelap dalam bisikan nafsu, sampai akhirnya maut dating menjemputnya.
Untuk mengendalikan nafsu-nafsu dapat dilakukan dengan cara laku tapa dengan sedikit mengurangi makan, tidur, menguasai diri dibidang seksual dan lain sebagainya. Ajaran Jawa mengatakan "Cegah Dhahar lan Guling", sebagaimana dalam Serat Wulangreh tembang Durma:
"Dipun sami ambanting sariranira, cegah dhahar lan guling, darapon suda, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadi sabarang karsanira lestari”
(artinya: Lakukanlah prihatin, janganlali terlalu banyak makan dan terlalu banyak tidur, agar nafsu yang menyala-nyala dapat berkurang dan hati menjadi tenteram. Akhirnya segala sesuatu yang hendak dicapai akan terlaksana).
Sesuai dengan hal tersebut, bagi orang Jawa laku tapa bukanlah meniadakan sama sekali dorongan biologis akan tetapi sekedar mengaturnya. Hal tersebut tentu dapat dicapai dengan membiasakan diri atau latihan dari sedikit. Taat terhadap perintah Tuhan dan selalu menjalankan apa yang telah diajarkan dalam agama juga merupakan suatu laku tapa, sehingga dengan laku tapa demikian, diharapkan akan mendekatkan diri kepada Tuhannya dan diharapkan manusia selalu pada fitrahnya.

Pijetan menunjukkan kelapangan hati, Gandik polos menunjukkan ketabahan
Dapur Brojol mempunyai ricikan Pijetan yang merupakan symbol dari kelapangan hati. Gandik polos merupakan symbol ketabahan dalam menjalani hidup. Kelapangan hati terhadap sesuatu yang diperoleh, khususnya terhadap keadaan yang tidak menyenangkan hati. Fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan percaya pada kekuasaan dan takdir Tuhan. Takdir bagi orang Jawa disebut dengan istilah "pepesthen". Pepesthen mempunyai arti segala sesuatu yang menyangkut hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari takdir Tuhan. Ada ajaran Jawa yang mengatakan "Ora ana kasekten sing madhani pepesthen, awit pepesthen iku wis ora ana sing bias murungake”. Artinya tiada kesaktian yang mempunyai kepastian sebagimana yang dimiliki Tuhan, karenanya tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam paham ajaran Jawa selalu beranggapan bahwa abang birune urip (merah birunya hidup) tergantung dari takdir Tuhan. Peristiwa kehidupan di dunia yang menyangkut begja cilaka, bungah susah, sugih mlarat ('keselamatan-bencana, sengsara-kesenangan, kekayaan-kemiskinan) dan sebagainya sudah merupakan pepesthen. Atas dasar itu, orang Jawa menyikapi pandangan hidup dengan mung saderma nglakoni (sekedar menjalankan) apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Dapat dikatakan bahwa ajaran Jawa percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia merupakan kepastian dari Tuhan. Karena merupakan kepastian dari Tuhan maka segala yang telah terjadi justru harus disyukuri, diambil hikmahnya dan harus diterima dengan ikhlas dan Sumeleh (dengan hati yang lapang). Takdir yang terjadi tidak bisa diubah oleh manusia, maka manusia hanya Sumarah (pasrah dan tabah) pada kehendak Tuhan. Sumarah dan sumeleh menunjukkan kestabilan jiwa seseorang dalam menjalani hidup.
Namun demikian, seriap orang wajib berikhtiar dan berusaha semampunya (wiradat). Hal tersebut menggambarkan bahwa hidup ini perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya. Orang yang ngoyo, cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

Brojol Merupakan Ajaran Hidup Menuju Fitrah Manusia
Dapur Brojol yang sederhana merupakan suatu symbol mengenai ajaran hidup bagaimana seseorang untuk menjaga fitrah yang telah diberikan oleh Tuhan. Meskipun bentuknya sederhana, dapur ini sarat dengan ajaran hidup yang sangat dalam. Meskipun fidak mudah untuk mencapainya, namun paling tidak ajaran ini mengingatkan manusia. Seorang yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia tidak mau merendahkan derajatnya, ia bahkan akan selalu berusaha untuk mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaannya.
Nafsu- nafsu duniawi yang menghalangi pencapaian fitrah, dikendalikan dengan tapa laku dan memahami takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Karena hidup ini tidak lepas dari kepastian dari Tuhan maka segala yang telah tercapai harus disyukuri, diambil hikmahnya dan harus diterima dengan ikhlas dengan Sumeleh (dengan hati yang lapang) dan Sumarah (tabah dan pasrah). Sumarah dan sumeleh menunjukkan kestabilan jiwa seseorang dalam menjalani hidup. Namun demikian, orang harus wajib berikhtiar, harus berusaha semampunya (wiradat). Namun usaha tersebut perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya, melanggar ajaran agama dan merugikan orang lain. Orang yang hidup ngoyo dan neko-neko (bertingkah), cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

Philosophy Keris Dapur Gumbeng

Philosofi Keris Dapur Gumbeng.
(Saduran dari Forum Diskusi Milis – Tulisan Moderator M. Hidayat menjelang Puasa 2008)

Adalah salah satu dapur Keris yang sangat sederhana. Memiliki ricikan seperti Kebo Lajer, tetapi bilahnya lebih lebar. Gandik panjang dan umumnya berasal dari tangguh sepuh seperti era Pajajaran atau Tuban.
Istilah Gumbeng, selain untuk menyebut dapur Keris, juga merupakan salah satu bentuk kesenian tradisional masyarakat Jogjakarta, terutama di wilayah Gunung Kidul, juga pernah berkembang di daerah Banyumas. Disebut rinding Gumbeng. Di Ponorogo juga dikenal istilah Gong Gumbeng. Keseluruhan kesenian tradisional ini memanfaatkan bambu sebagai alat instrumen. Pelaksanaan kesenian rinding Gumbeng ini bernuansa sakral dan sering dilakukan untuk berharap panen yang baik. Inti dari kesenian ini adalah ekspresi dari kesederhanaan, keluguan masyarakat yang bersahaja. Lebih jauh, melalui tradisi Gumbeng ini, manusia diharapkan mampu menjalani kehidupan sehari-hari dengan ulet, sederhana dan penuh kearifan baik dalam konteks vertikal (keTuhanan) dan horizontal (alam dan manusia) untuk mencapai suatu kemakmuran hidup bagi masyarakat (sosial-ekologis- kultural) .

Rupanya tidak jauh berbeda dengan kesenian Gumbeng yang telah berkembang di masyarakat semenjak ratusan tahun lalu, keris dapur GUMBENG juga menunjukkan bentuk yang sederhana, lugu dan memiliki muatan sakral serta magis dan ada kaitannya dengan keselarasan manusia dengan alam. Dalam budaya keris, Gumbeng secara harfiah bermakna "tingkat kesadaran tertentu pada saat bersemedi".

Semedi (meditasi, red), adalah salah satu bentuk meditasi yang dilakukan oleh manusia untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta dan alam semesta. Berusaha mencapai keselarasan pikir, hasrat dan daya-rasa-cipta pada diri manusia dengan Tuhan dan alam. Dalam tataran tertentu, ketika bersemedi, manusia akan melalui suatu batas antara kesadaran pikir dalam tataran manusia dengan kesadaran hakiki atas makna keTuhanan dan alam semesta. Semedi, juga menjadi semacam metode penyucian batin (tazkiyatun nafs) serta berusaha mengelola energi alam.

Dalam bersemedi, manusia bisa jadi akan mengalami seperti apa yang dialami oleh Bima ketika berusaha menjalankan titah mencari Tirta Pawitra dalam cerita Dewa Ruci. Melalui sebuah batas dari tataran syariat, tarekat, hakikat dan makrifat yang disimbolkan dengan beberapa warna cahaya sampai pada batas pencapaian (Kala Bintulu). Atau dalam budaya Jawa dikenal sebagai laku raga, laku budi, laku manah, dan laku rasa. Atau menurut ajaran Mangkunegara IV seperti disebutkan dalam Wedhatama, empat tahap laku ini disebut : sembah raga, sembah cipta, sembah jiwa, dan sembah rasa.
Daya dorong kearah positif dan negatif harus, diselaraskan, diharmoniskan dan selalu dijaga keseimbangannya. Jika daya nafsu bisa kita kendalikan dengan baik, akan sama artinya kita telah bergerak untuk menyatukan diri dengan Tuhan, Hyang Moho Tunggal. Menyatukan disini dalam pengertian ini bukan menyatunya dzat manusia dengan Dzat Tuhan. Manusia tidak perlu menyatukan dirinya dengan Dzat Tuhan, karena Tuhan keberadaan-Nya sudah meliputi segala sesuatu. Yang perlu disatukan adalah “Sifat, Asma dan Af’al “ manusia, agar selaras dengan sifat, asma dan af’al Tuhan yang telah diberikan kepada semua manusia sebagai Kodrad dan Irodad yang sudah ada dalam diri setiap manusia. Jadi tugas manusia hanyalah “menyelaraskan dan menyerasikan“ dengan Kodrad dan Irodad Tuhan. Inilah batas yang ada dalam semedi. Semedi tanpa menyadari adanya batasan diri akan menyebabkan manusia menjadi "owah". Berubah cara pikir dan perasaan terhadap lakuning urip lan kesejatian.
Untuk bisa menyatukan diri dengan Tuhan, manusia dalam berbagai cara melakukan diantaranya adalah dengan cara Semedi yang dalam hal ini manusia harus bisa menyatukan segenap perasaan dan pikiran dengan nafasnya dalam bermeditasi. Puncak dari adanya penyatuan ini biasanya dalam ukuran minim yang bisa terasa adalah timbulnya “ketenangan Jiwa“ dan tentramnya Qalbu. Hanya dengan “mengingat“ Tuhan lah qalbu/hati bisa menjadi tenang.

Salah satu "semedi" dalam situasi, ajaran dan bentuk yang lain adalah Puasa. Puasa atau Poso diserap dari dua kata Sansekerta, yaitu “upa” = dekat dan “wasa” = berkuasa. Jadi “upawasa” biasa dilafalkan sebagai Poso atau puasa, merupakan cara untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bahasa Arabnya shaum atau shiam. Dalam bahasa Inggris “fasting” yang diserap dari kata Jerman kuno “fastan” = menggengam. Puasa dalam bahasa Ibrani tsum, tsom dan “inna nafsyo” yang berarti merendahkan diri dengan berpuasa, sedangkan dalam bahasa Yunani = nesteuo, nestis atau asitia/asitos.

Orang melakukan puasa, bukan hanya karena kewajiban atau karena ketentuan agama saja, bisa juga untuk tujuan politik, seperti yang dilakukan oleh Mahatma Gandhi ataupun Martin Luther King Jr dengan demontrasi mogok makan. Begitu juga kita sering diwajibkan puasa demi kesehatan misalnya sebelum melakukan test laboratorium atau pada saat melakukan detoksifikasi ataupun para penderita diabetes. Begitu juga banyak orang melakukan puasa karena diet, hal ini banyak dilakukan oleh para teenager. Orang berpuasa juga untuk menyatakan rasa duka ataupun karena ingin meraih satu tujuan tertentu. Ada juga orang yang berpuasa sebagai persiapan diri menghadapi suatu tugas khusus misalnya merasa terpanggil untuk melakukan sesuatu.
Puasa dapat disebut doa dengan tubuh, karena menyangkut seluruh orang dan tingkah laku rohaninya. Puasa dapat memberikan kemantapan dan intensitas pada doa, karena dapat mengungkapkan rasa lapar akan Tuhan dan kehendak-Nya dan dapat bermakna mengorbankan kesenangan dan keuntungan sesaat, dan dengan Puasa menolong orang untuk menghindari keserakahan dan bisa merupakan tanda penyesalan, pertobatan. Puasa juga mempunyai akar psikologis yang mendalam, yakni sebagai usaha pemurnian dan sebagai prasyarat mempermudah pemusatan perhatian waktu semedi dan berdoa.

Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari puasa. Sekurang-kurangnya, kita diingatkan kembali oleh Sang Pencipta arti penting hidup bersama dengan manusia lainnya. Dengan kata lain, makhluk sosial ini tidak akan bisa hidup tanpa ada hubungan baik dengan sesamanya. Ketika puasa, kita dapat merasakan pahit getir menahan lapar dan dahaga. Padahal penderitaan ini hanya sesaat, yaitu sejak terbit fajar sampai tenggelam matahari. Buat fakir miskin kesengsaraan ini dijalani sepanjang hayatnya. Melalui cara ini, mata batin kita akan peka, naluri ingin menolong akan semakin sensitif dan kepedulian kita kepada semua manusia akan semakin baik. Semoga, dengan Puasa, kita bisa terlahir kembali menjadi sesosok insan yang memahami adanya “batas”. Batas pencapaian tujuan, batas hidup, batas kemampuan dan batas diri lainnya. Juga memahami bahwa hidup di dunia ini hanya sesaat karena kesejatian hidup adalah ketenangan jiwa yang mengarah pada pendekatan diri terhadap Sang Khaliq.

Kang sinedyo tineken Hyang Widi… (Yang diinginkan dikabulkan oleh Tuhan) Kang kinasara dumadakan keno… (Yang dikehendaki tiba-tiba didapat) Tur sisihan Pangerane… (dan dikasihi oleh Tuhan) Nadyan tan weruh iku… (Meskipun dirinya tidak tahu) Lamun nedyo muja semedi… (Akan tetapi ketika dia hendak melakukan semedi)Sesaji neng segoro… (Dia memberikan sesajian di Samudera/Hati/Qalbu) Dadya ngumbaraku… (Jadilah pengembaraan itu) Dumadi sariro tunggal… (Untuk menjadi satu diri) Tunggal jati swara aowr ing Hartati… (Satu kesejatian suara yg ada dalam Qalbu) Kang aran Sekar Jempina… (Itulah yang disebut Bunga Jempina )



Salaam,
Hidayat.

BUDAYA KERIS KIAN TERPINGGIRKAN

Budaya Keris Kian Terpinggirkan ?
(Tulisan ini disadur dari Milis Forum Diskusi Keris (FDK – yang ditulis oleh Moderatornya M. Hidayat)


Salam sejahtera,
Rasanya tulisan semacam ini sudah sering kita baca, bahkan juga pasti sudah kerapkali kita pikirkan dan diskusikan. Tetapi rasanya memang perlu untuk terus dikedepankan agar budaya keris di Tanah Air tidak kian terkikis dan terpinggirkan.

Realitas Sosial-Budaya Masyarakat terkait dengan Keris.

Acapkali kita melihat pada tayangan TV dimana seorang pendekar menggunakan sebilah keris sebagai senjata yang bisa mengeluarkan sinar dan seolah memiliki energi kuat sehingga mampu membunuh musuh dari jarak jauh dengan pancaran sinarnya. Juga sering ditayangkan seorang dukun memegang keris yang seolah-olah keris tersebut bisa bergetar dan mengeluarkan asap. Juga keris yang diberi sesaji bunga dan jampi-jampi sehingga seakan bisa dimintai pertolongan karena memiliki kekuatan magis. Dan jika kita teliti lebih detail lagi, keris-keris yang digunakan di sineotron TV kurang sesuai dengan jamannya. Katakanlah misalnya cerita di era Majapahit atau Mataram Sultan Agung, keris yang digunakan sudah memakai wrangka Ladrang Solo yang baru dikreasi oleh Pangeran Mangkubumi (?) pasca perjanjian Giyanti (Maret 1755). Walau memang tidak secara khusus mengulas tentang keris, tetapi akan lebih baik jika pengarah busana dan perlengkapan acara juga sedikit belajar sedikit tentang keris, atau minimal menanyakan kepada seseorang yang paham. Dengan begitu, setting cerita dan bentuk senjata serta perabotan yang digunakanpun akan saling mendukung. Ini juga kerap kita temui pada acara resepsi perkawinan, dimana pakaian yang digunakan adalah Jawa Timuran atau Jogjakarta, misalnya, tetapi keris yang di-sengkelit menggunakan wrangka Ladrang Solo.

Dalam berbagai cerita legendaris, kita juga kerap mendengar keris mPu Gandring, Keris Kala Munyeng, Keris Naga Sasra, dsb.. dimana Keris sebagai Pusaka dilegendakan secara lebih dramastis. Lalu diperparah lagi oleh kondisi di pasar perkerisan dimana muncul beragam bentuk keris yang diyakini sebagai keris mPu Gandring, Keris Kala Munyeng, bahkan paling sering keris Naga Sasra, yang walau buatan baru kualitas kodian dengan tatahan kasar, tetapi si penjual (yang entah paham atau tidak, atau pura-pura tidak paham keris), menawarkan keris tersebut sebagai keris tua tangguh Purwacarita, Singosari, Majapahait yang dulunya pernah dimiliki oleh seorang pengageng kraton dengan mas kawin (harga) yang sangat fantastis puluhan sampai ratusan juta dan bisa bikin kepala pening.

Bahkan beberapa penjual sering nekat dengan menawarkan keris buatan baru baik Bethok maupun Naga Sasra kualitas kodian yang dikamal secara mengenaskan, dan dikatakan memiliki tuah yang sangat bagus untuk kepangkatan, derajad, kerejekian, dsb…. Memang kalau dipikir, akan lebih mudah menjual keris baru yang kurang garap dan dikamal sampai terkesan tua, membalutnya dengan kain putih dengan taburan bunga dan minyak tanpa repot-repot nyandangi dengan wrangka dan perabot yang sekarang sudah kian mahal, juga tanpa harus ribet belajar memahami budaya keris lebih dalam. Yang penting adalah bisa memperoleh sejumlah nilai rupiah dari menawarkan keris dengan harga mahal karena dikatakan dan diyakini memiliki yoni atau tuah yang kuat/hebat. Dan lebih ironis lagi, si pembeli karena kurang paham, akhirnya terbujuk membeli keris baru yang dituakan atau bahkan sampai membeli keris yang dikatakan bertuah dengan harga ratusan juta rupiah, padahal senyatanya adalah keris buatan baru yang dikamal.

Lebih jauh lagi, dari berbagai cerita mistis baik di radio ataupun media cetak lainnya, keris seolah telah menjadi benda yang memiliki daya magis dan layak ditakuti karena tidak setiap orang akan kuat menyimpannya. Bisa jadi tuah keris sangat tidak bagus bagi kelangsungan hidup seseorang. Tetapi sebaliknya, juga ada cerita tentang orang yang baru membeli keris lantas jadi cepat kaya karena usahanya terbantu dari keris tersebut, memiliki daya kebal, bisa meningkatkan daya pikir, dsb….. dll…..

Sedangkan yang terkait dengan produksi keris baru yang dilakukan oleh para pengerajin keris, saat ini kondisinya juga kian memperihatinkan. Sebut saja para pengerajin keris di Banyu Sumurup – Jogja. Para pengerajin di sana kian merasakan himpitan ekonomi, apalagi selepas musibah gempa bumi. Satu sisi bahan baku keris seperti besi, nikel, timah, arang dll harganya sudah naik, di sisi yang lain para pemesan keris baru makin menurun. Akhirnya mau tidak mau para pengerajin harus bersedia mengurangi profit mereka demi mengejar pesanan walau jika di hitung, ternyata hasil kerja mereka sangat jauh di bawah standar upah minimum. Kondisi ini juga di alami oleh para pengerajin di Aeng Tong-Tong Sumenep Madura. Ditengah kebutuhan hidup masyarakat meningkat, sementara kondisi ekonomi kian sulit, maka para pengerajin harus bisa menyiasati hidup agar tetap bisa eksis ditengah keterpurukan pesanan keris baru. Padahal bisa dikata, Aeng Tong-Tong merupakan satu-satunya tempat produksi Kodogan dan keris baru terbesar di Indonesia. Kodogan Aeng Tong-Tong banyak dipesan oleh para pengerajin keris dari Solo dan Jogja. Dan kalau kondisi yang memperihatinkan ini terus berlanjut, maka masyarakat setempat bisa jadi akan kembali menerjuni usaha pertanian dan perkebunan yang dulu mereka tinggalkan karena keris sudah tidak menjanjikan lagi sebagai sandaran hidup.

Realitas kondisi sosial-budaya masyarakat kita terkait dengan keris tersebut apakah bisa dikatakan sebagai kondisi yang bagus bagi perkembangan budaya keris di masa depan, ataukah malah ironi yang nantinya akan semakin meminggirkan budaya keris di tanah air ? Bagi kita yang berfikir dan paham, tentu paparan tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya keris telah menjadi fenomena budaya yang banyak dipelesetkan jauh dari nilai-nilai budaya yang tersimpan pada keris itu sendiri untuk kepentingan pribadi sesaat yang tanpa memikirkan keberlangsungan dan kelestarian budaya keris itu sendiri. Ironis bukan ?

Memaknai Keris sebagai Benda Budaya.

Keris, adalah karya seni hasil dari sebuah peradaban masyarakat pada masa lalu yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan serta ditumbuh-kembangkan. Karena itu, membicarakan Keris tidak akan bisa lepas dari budaya masyarakat dimana keris tersebut dibuat serta sejarah masa lalu yang melingkupinya. Untuk memahami dan menikmati hasil karya dari seorang mPu Keris, kita tidak hanya melihat bahan besi dan kualitas penempaan, material pamor yang digunakan dan penerapannya, serta bukan pula pada pasikutan sebilah keris semata. Lebih jauh dari itu, untuk menikmati keindahan sebilah keris, kita perlu sejenak kembali ke masa lalu. Membayangkan kondisi budaya masyarakat setempat waktu itu, tingkatan teknologi yang dimiliki, pola pikir serta simbol-simbol (sanepa & sengkala) dengan berbagai makna yang dianut masyarakat waktu itu serta berbagai aspek lain yang terkait dengan sebuah budaya. Alhasil, dengan memahami prosesi pembabaran keris, bentuk keris itu sendiri sampai pada budaya masyarakat masa lalu secara menyeluruh, maka kita akan bisa memahami dan menikmati keindahan keris sebagai sebuah maha karya agung dari sebuah proses budaya yang bisa menjadi filosofi hidup sarat makna.

Dalam perkembangan budaya, tentu akan selalu ada evolusi, baik akibat akulturasi budaya maupun inovasi dari masyarakat yang hidup pada masa itu. Demikian pula dengan keris. Perkembangan budaya keris lebih banyak dilihat dari bentuk bilah dari yang kurang garap ke yang lebih garap. Ini karena seorang mPu jaman dulu sampai sekarang adalah seorang seniman yang sangat paham dengan estetika dan keindahan seni. Dari yang sangat sederhana menjadi yang memiliki ricikan lengkap. Misalnya pada jaman kerajaan Hindu awal, keris memiliki bentuk yang sederhana dan cenderung berfungsi sebagai senjata tikam. Ini bisa dilihat pada beberapa relief candi. Di sana terpahat bentuk keris yang dipegang sebagai layaknya senjata tikam. Bentuknya seperti belati yang merupakan prototipe keris Bethok serta ada pula bentuk keris Sepang tetapi lebih pendek. Dan karena itu, tidaklah salah jika keris juga dikatakan sebagai senjata.

Tetapi dalam perkembangan era berikutnya, pada jaman Kediri, Singosari, Majapahit sampai sekarang, keris sudah mulai berkembang baik bentuk maupun fungsinya. Dari bentuk yang sederhana seperti Bethok dan Brojol menjadi keris berlekuk (Luk). Juga dari senjata tikam menjadi simbol kehidupan bermasyarakat dan bernegara, juga sebagai pusaka atau piyandel. Perkembangan dan perubahan ini tentunya memiliki maksud tertentu. Ini sejalan dengan budaya masyarakat masa lalu, dimana segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini acapkali dilambangkan dalam sebuah perumpamaan (sanepa) dan perlambang (sengkala) yang memiliki makna filosofi hidup secara mendalam.

Keris sebagai simbol budaya khususnya masyarakat Jawa jaman dulu ditunjukkan dari makna dapur maupun pamor. Seperti misalnya keris dapur Condong Campur yang melambangkan kondisi sosial, politik dan budaya masyarakat Majapahit jaman dulu dimana kondisi masyarakat sudah sangat heterogen, perpecahan antar golongan mulai muncul yang kemudian ingin atau diarahkan (Condong) agar bisa disatukan (Campur). Kondisi ini dilambangkan dalam bentuk keris Kanjeng Kyai Condong Campur. Lain halnya dengan Keris Kala Munyeng. Penyebutan Kala Munyeng berawal dari Kalam Munyeng yang artinya kurang lebih perkataan atau kalimat yang disampaikan secara lisan (Kalam) yang bisa menyebabkan orang lain bingung (Munyeng). Kanjeng Sunan Giri dilegendakan memiliki keris yang bisa terbang sendiri dan berputar-putar membunuh musuh (pasukan Majapahit). Sesungguhnya makna dari keris Kala Munyeng adalah perkataan Kanjeng Sunan Giri yang menyebabkan pasukan Majapahit bingung apakah akan meneruskan menyerang Giri ataukah kembali ke Majapahit. Kondisi kebingungan ini menyebabkan pasukan Majapahit terpecah menjadi 2 (dua) kelompok dan saling berbunuhan tanpa turun tangan langsung dari pasukan Giri Gresik.

Keris, meminjam uraian Sugeng SW, juga merupakan lambang “senjata hidup”. Senjata orang hidup adalah akal dan pikiran untuk selalu menyempurnakan diri dengan visi yang tajam seperti tajamnya bilah keris. Artinya bahwa ketajaman keris menunjukkan kecerdasan, kecermatan dan keperwiraan manusia yang sudah “dewasa”. Dengan memahami keris seperti itu, maka keris telah kita posisikan sebagai sebuah filosofi hidup yang sarat makna dan merupakan simbol jati diri bangsa yang patut untuk terus dikaji, dilestarikan serta diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan melihat kondisi yang memperihatinkan dalam masyarakat kita saat ini terkait dengan pemahamannya terhadap keris, serta pemahaman kita atas makna besar yang melekat pada keris sebagai benda budaya, maka sudah sewajarnya kita terpanggil untuk senantiasa mengabarkan kebenaran dan memberikan pencerahan kepada masyarakat sekeliling kita yang kurang paham terhadap keris. Selalu berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan budaya keris melalui kerjasama dengan para pengerajin keris, sampai pada sharing koleksi agar bisa dinikmati oleh umum karena sesungguhnya keris adalah referensi budaya. Dan bukan sebaliknya, malah menghancurkan budaya keris dengan berbagai cara demi keuntungan materiil sesaat atau keinginan agar mendapat pengakuan khalayak ramai bahwa keris yang dikoleksi memiliki tuah yang sakti atau asalan yang lain yang akhirnya bisa meminggirkan budaya keris dari kehidupan masyarakat kita.

Mohon maaf jika ada kesalahan berkalimat serta dipandang bisa mendistorsi upaya dan keinginan untuk menawarkan keris baru yang dituakan dan dikatakan sebagai keris tua ber-tuah. Lebih jauh, segala sesuatu yang ada pada tulisan ini sebenarnya bukan Untuk Kita Renungkan (meminjam judul lagu Ebiet GAde), tetapi untuk kita implementasikan melalui interaksi kita dalam hidup bermasyarakat terkait dengan pengembangan budaya Keris.

Salaam,

Hidayat

Minggu, 30 November 2008

REFLEKSI KERIS DAPUR JANGKUNG

REFLEKSI : DAPUR JANGKUNG.
Disadur Majalah PAMOR Edisi 04 - Tulisan MM Hidayat

KERIS JANGKUNG, dalam buku Keris Jawa ; Antara Mistik Dan Nalar dikatakan memiliki makna Perlindungan dan Pengayoman. Makna lain, dengan meminjam istilah Sugeng SW (KR-Jogja), Keris berlekuk tiga atau Jangkung memiliki makna bahwa manusia diharapkan Jinangkung Jinampangan dari Tuhan YMK. Dengan demikian, keris berlekuk tiga ini menggambarkan harapan agar keinginan manusia bisa tercapai. Orang Jawa menamakannya Jangkung, keinginannya agar senantiasa dijangkung, dipenuhi Yang Maha Kuasa. Tetapi manusia juga harus memberikan perlindungan.

Konon, pada awal pemerintahannya, Sultan Agung Hanyokrokusumo beberapa kali memesan keris dapur Jangkung, dengan harapan dan keinginan untuk menunjukkan tekadnya dalam memberikan pengayoman dan perlindungan kepada warga masyarakat Mataram masa itu. Juga pernah tercatat pada tahun 1984 dan 1985 Sri Sultan Hamengku Buwono IX pernah memesan dua bilah keris, salah satunya dapur Jangkung Mengku Negoro kepada mPu Djeno Harumbrojo. Tetapi sayangnya beliau keburu wafat sebelum keris selesai dibuat.

Dalam hal ini, Keris Luk 3 Dapur Jangkung bisa kita jadikan sebagai pengingat atas tugas kita (manusia) sebagai Pemimpin (Khalifah) di dunia. Dengan demikian, tugas untuk memberikan pengayoman dan perlindungan kepada seluruh makhluk Tuhan YME berada pada pundak manusia sebagai pemimpin di dunia.

Tetapi yang kerap muncul adalah bahwa manusia terlalu mendominasi atas segala kehidupan alam semesta, terutama di bumi. Seakan manusia ini adalah pelaku utama yang berdiri sendiri. Fokus utama perhatian khalayak hanya ada pada diri dan kebutuhan manusia itu sendiri tanpa mempertimbangkan bahwa dunia dan alam semesta ini sesungguhnya adalah sebuah jalinan kehidupan antar makhluk yang saling terkait dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Disini menunjukkan bahwa fungsi Manusia sebagai Pengayom atau Pelindung telah bergeser menjadi Fungsi sebagai Penguasa. Fungsi dari Pengaturan berubah menjadi Pemilik.

Kita sesungguhnya telah paham bahwa Tanah, Air, Udara, Tumbuhan dan Hewan Serta segala yang ada di alam raya ini merupakan Makhluk Tuhan. Tetapi karena adanya pergeseran fungsi Manusia dari Pengayom menjadi Penguasa, menyebabkan segala yang ada di alam ini hanya digunakan sebagai pemuas kebutuhan nafsu manusia belaka tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan keberlangsungan hidup makhluk yang lain.

Maka tak ayal lagi, yang terjadi adalah ketimpangan kehidupan alam semesta dimana manusia telah mendominasi atas alam semesta. Dan karena tidak mampu menjaga keseimbangan hidup alam semesta, maka yang terjadi adalah munculnya berbagai bencana, dari mulai banjir, tanah longsor, gempa, lumpur panas yang meluap, sampai pada kerusuhan sosial dan politik.


Jadi marilah kita bersama-sama terus mengabarkan dan berjuang untuk kebaikan, demi terjaganya keseimbangan alam. Ini merupakan fungsi kita (manusia) sebagai Pengayom dan Penjaga bagi kehidupan di dunia, bukan merasa sebagai Pemilik. Karena sesungguhnya semua yang ada di Alam Raya ini adalah milik dan menjadi Kekuasaan Tuhan YMK.

Dan memang, disinilah salah satu manfaat Keris sebagai Pusaka atau Piyandel. Yaitu sebagai salah satu Filosofi Hidup, dimana kita bisa belajar banyak dari pengalaman masa lalu, walaupun kita tidak hidup dimasa lalu.

Tentu rekan-rekan lain ada yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dan ingin menambahkan mengenai Refleksi ini, tentu akan senang sekali bisa berbagai.

Salaam,
Hidayat.

MEMBACA ULANG TRADISI KERIS JOGJAKARTA

MEMBACA ULANG TRADISI KERIS JOGJAKARTA
Disadur dari Majalah PAMOR Edisi 9 – tulisan A. Ardiasto SH (Pegiat Lingkar Kajian Keris Yogyakarta)

40 tahun pergolakan membuat raja Muda membutuhkan legitimasi. Dikumpulkannya pusaka-pusaka kraton yang tersebar …dititahkannya Mpu Kraton untuk menduplikasi beberapa pusaka... Mas Menol marak menjadi Sultan Hamengkubuwana V dalam usia muda, dibalik bayang-bayang NdoroTuan Meneer dan ilusi keagungan masa lalu
Tradisi dan budaya keris di Jogjakarta memiliki sejarah yang menarik untuk dikaji. Budaya keris di Jogjakarta, belumlah setua peradaban sebelumnya, walaupun Ngayogjakarta Hadiningrat termasuk satu dari sekian kerajaaan pecahan Mataram, namun Jogjakarta tetap memiliki keunikan dan kekhasan budaya yang berbeda dengan pecahan Mataram yang lain, termasuk dalam budaya perkerisan.

Bila saat ini di kalangan insan perkerisan menggolongkan tangguh /perkiraan /langgam /gaya dari sebuah keris yang keluar dari kerajaan-kerajaan muda pecahan Mataram sehagai tangguh Nom (muda), hal ini tidak terlepas dari periodisasi sejarah Jawa 'moderen' di bawah Surakarta dan Jogjakarta. Keris yang keluar dari dua kerajaan ini tidak bias dikatakan mewakili tangguh Mataram, karena memiliki sifat, karakter dan bahan yang berbeda dari keris-keris Mataram, walaupun secara umum masih merupakan kelanjutan dari tradisi Mataram.

Periodisasi sejarah Mataram berawal dari maraknya panembahan Senapati menjadi Raja pada tahun 1575 Masehi, hingga kemudian 1755 Masehi dengan terpecahnva Mataram menjadi Surakarta dan Jogjakarta lewat perjanjian Giyanti. Kurang lebih 180 tahun Mataram bertahan dan mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Pasca Giyanti nyaris 4 kerajaan pecahan Mataram (Surakarta, Jogjakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman) tidak memiliki kedaulatan penuh baik dalam bidang politik, sosial maupun budava. Masuknva pengaruh Eropa ke dalam Kraton membuat Kraton terlihat kehilangan identitas Jawanya. Dominasi Eropa yang kuat ikut menyumbangkan bibit-bibit perlawanan di kalangan bangsawan Kraton yang kritis. Puritanisme Jawa-Mataram perlahan-lahan terkikis oleh arus pem'barat'an yang dibawa oleh kolonialisme Eropa. Jogjakarta pun ikut menjadi korban pem'barat'an ini.

Sebagai bagian dari pecahan Mataram, Kasultanan Yogyakarta hanya sesaat menikmati masa damai vang pendek. Setelah Pangeran Mangkubumi memproklamirkan diri sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 13 Pebruari 1755, dia segera memusatkan perhatiannya pada pembangunan kraton yang baru. Kurang lebih 30 tahun masa damai yang pendek itu berjalan sebelum pergolakan demi pergolakan memanaskan kerajaan yang baru berdiri itu. Pergolakan vang tidak ada hentinya mengakibatkan Kasultanan Jogjakarta kehilangan gairah dalam membangun peradaban.

Masa-masa Pergolakan

I. Perang Yogyakarta vs Surakarta 1790 Masehi
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin. Mengembalikan kerajaan Mataram. warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali, tentunva dibawah Kesultanan Jogjakarta. Surakarta Hadiningrat sebagai pesaing terdekatnya saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III vang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I untuk mengekspansi Surakarta sulit diwujudkan.
Pada tahun 1788 M Pakubuwana IV naik takhta, menggantikan ayahnya. la merupakan raja yang jauhlebih cakap daripada ayahnva. Cita-citanva merupakan kebalikan seperti cita-cita Hamengkubuwana I, yaitu ingin menjadikan Surakarta sebagai penguasa Jawa, mengembalikan kejayaan Mataram Sultan Agung, dibawah Kasunanan Surakarta. Pihak VOC sendiri juga resah menghadapi raja baru tersebut. Pakubuwana IV adalah raja Surakarta vang penuh cita-cita dari keberanian, berbeda dengan avahnya vang terkenal lemah dan kurang cakap. Keadaan Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi Raja. Pakubuwana IV sendiri sangat membenci VOC. Akhirnya VOC pun bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 M Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (Raja Pertama Mangkunegaran) kembali bekerja sama untuk pertama kalinva sejak zaman pemberontakan pra Giyanti. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta. Pakubuwana IV akhirnya menyerah kalah.
Ini adalah kerja sama paman-keponakan antara Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I. Peristiwa ini disebut 'Pakepung'. Hamengkubuwana I mendesak VOC supava putranya dijadikan raja Surakarta namun ditolak. Pakubuwana IV tetap diizinkan menjadi raja dengan menandatangani perjanjian kesepakatan bahwa Yogyakarta dan Surakarta adalah sederajat dan dilarang untuk saling menaklukkan. Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I bersama menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogvakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan. Meski demikian, Pakubuwana IV tetap saja menyimpan ambisi untuk mengembalikan Mataram-Yogyakarta dalam pangkuan Surakarta.
Sejak tahun 1800 tidak ada lagi VOC karena dibubarkan pemerintah negeri Belanda. Sebagai gantinya, dibentuk pemerintahan Hindia Belanda yang juga dipimpin seorang Gubernur Jenderal. Herman Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak 1808 menerapkan aturan yang semakin merendahkan kedaulatan istana. Dalam hal ini Pakubuwana IV seolah-olah menerima kebijakan itu karena ia berharap Belanda mau membantunya merebut Yogyakarta.
Pakubuwana IV juga pandai bersandiwara di hadapan Thomas Raffles, wakil pemerintah Inggris yang telah menggeser pemerintahan Hindia Belanda tahun 1811. Sementara itu Hamengkubuwana II sebagai pengganti Hamengkubuwana I, terkesan kurang ramah terhadap bangsa asing. Pakubuwana IV memanfaatkan kesempatan itu. la saling berkirim surat dengan Hamengkubuwana II vang berisi hasutan supava Yogvakarta segera memberontak terhadap penjajahan Inggris. Harapannya, Yogyakarta akan hancur di tangan Inggris. Pihak Inggris lebih dulu mengambil tindakan. Pada bulan Juni 1812 istana Yogyakarta berhasil diduduki dengan bantuan Mangkunegara II. Hamengkubuwana II sendiri ditangkap dan dibuang ke Penang.

II. Pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja
Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792 Masehi. la merupakan raja vang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior vang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II lebih setia kepada Belanda, ketimbang dengan rajanya.
Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. la bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799. Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur Jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur Jenderal VOC) adalah Herman Daendels vang anti feodalisme. la menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnva dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen}. Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. La memecat Danureja II dan menggantinva dengar Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Sebagai bagian dari penjajahan Belanda. Raja sebenarnya tahu kalau Raden Rangga Prawiradirja bakal kalah, namun dia ingin mencoba seberat mana kekuatan pemerintah colonial belanda yang baru. Belanda berhasil menumpas pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menvebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinva dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih DanurejaII.

III. Pemberontakan Sepoy
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu Letnan Gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya. Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.
Setelah peristiwa pendudukan Keraton oleh Balatentara Kompeni Inggris, dan sejak ditandatanganinya perjanjian politik antara Thomas Stamford Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III pada bulan Oktober 1813, kekuatan bersenjata Keraton menurun drastis. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, Kasultanan Yogyakarta tidak lagi dibenarkan memiliki angkatan bersenjata vang kuat. Personil dan sistem persenjataan dibatasi sedemikian rupa, sehingga Keraton tidak mungkin lagi untuk melakukan gerakan militer. Sejak itulah fungsi kekuatan bersenjata Keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga lingkungan Keraton.
Usaha Pakubuwana IV untuk merusak kedaulatan Jogjakarta belum juga jera. Pada tahun 1814 ia bersekutu dengan kaum Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris untuk bertugas di Jawa. Divisi Sepoy dipimpin oleh Subadar Dhaugkul Singh, Mata Deen dan Ripaul Singh. Tentara Sepoy ini diajak Pakubuwana IV untuk memberontak terhadap Inggris, serta menaklukkan Yogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwana III. Persekutuan ini kandas tahun 1815. Sebanyak 70 orang Sepoy yang terlibat pem-berontakan diadili pihak Inggris. Sejumlah 17 orang diantaranya dihukum mati, sedangkan sisanya dipulangkan ke India sebagai tawanan. Thomas Raffles juga membuang seorang pangeran Surakarta yang dianggap sebagai penghasut Pakubuwana IV.

IV. Perang Jawa
Konflik yang paling dahsyat dalam sepanjang sejarah Jawa mungkin adalah perang Jawa. Perang Jawa atau Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.
Perang Jawa (Belanda: De ]ava Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi vang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya. Sultan Hamengku Buwana V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang vang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda dan dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Perang Jawa berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Produksi senjata dan mesiu dilakukan di hutan-hutan di sekitar Jogjakarta. Produksi senjata api maupun senjata tajam, mesiu, dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan ditangkap. Menyusul kemudian pangeran Mangkubumi dan Panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Tradisi Keris Jogjakarta?
Pergolakan yang panjang sepanjang pemerintahan Hamengkubuwono I hingga Hamengkubuwono V, telah memporakporandakan sendi kehidupan budaya di lingkungan Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat. Penetrasi budaya asing, Belanda dan Inggris telah membangun suatu akulturasi budaya baru di kalangan Ningrat, Pujangga, Mpu dan segenap insan yang ada di wilayah Jogjakarta. Saat dimana Jogjakarta lahir dengan identitas baru percampuran antara tradisi Jawa-Mataram dan Eropa.
Melihat sedikit paparan diatas tentang periode kekacauan dan pergolakan di Kraton Ngayogjakarta, yang dominan pada saat itu tentunya adalah kaum politisi, prajurit, tentara kolonial, dan tentunya pemberontak. Di saat situasi kacau seperti itu, posisi seniman, pujangga, dan Mpu pembuat keris akan sedikit terpinggirkan. Para Mpu pembuat keris mungkin akan tetap berkarya, tapi hanva untukkebutuhan persenjataan terbatas. Sedangkan kita tahu bahwa setelah peristiwa pendudukan Keraton oleh Balatentara Kompeni Inggris, dan sejak ditandatanganinya perjanjian politik antara Thomas Stamford Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III pada bulan Oktober 1813, kekuatan bersenjata Keraton menyurut drastis. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris Kasultanan Yogyakarta tidak lagi dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Personil dan system persenjataan dibatasi sedemikian rupa, sehingga Keraton tidak mungkin lagi untuk melakukan gerakan militer. Sejak itulah fungsi kekuatan bersenjata Keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga lingkungan Keraton.
Pasca tahun 1830, Setelah berakhirnva Perang Diponegoro, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda semakin mengurangi dan membatasi kekuatan militerKeraton. Meski memiliki hampir 1000 personel dengan berbagai jenis senjata, termasuk senjata api, namun keberadaannya sungguh tidak lebih hanya sebagai atribut pelengkap dalam kehidupan tradisi dan adat istiadat keratin. Hal ini membuat para Mpu senjata berkurang karyanya. Mereka hanya dibatasi membuat senjata untuk kepentingan Raja.
Seniman, perajin, dan Mpu Keris akhirnya banyak yang berdomisili dan membuat karya diluar benteng Kraton. Ada satu temuan yang menarik tentang hal ini. Diluar wilayah benteng Kraton, tentunya di daerah Gading Mataram, banyak ditemukan keris, tombak dan tosan aji lainnya dalam jumlah yang luar biasa baik secara kuantitas maupun kualitas. Karena keris dan tosan aji dari daerah ini terhitung banyak, sampai-sampai oleh beberapa kalangan keris dari wilayah Gading Mataram ini digolongkan kedalam kategori keris rucah atau keris rakyat. Wilayah ini antara lain adalah Bagelen dan Ngenta-enta (Ngento-ento).

Bagelen Diantara Utilitas dan Estetika.
Bagelen adalah sebuah wilayah di sebelah barat Jogjakarta yang menarik untuk dikaji. Bagelen meliputi wilayah Purworejo, Kebumen, sebagian Wonosobo dan Kutoarjo. Pada zaman kolonial Belanda, Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak prajurit Diponegoro dari Bagelen. Bahkan, di sini pulalah tentara Belanda banyak vang terbunuh.
Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah. Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa.
Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini. Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempatbegawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora.
Bagelen sejak jaman Sultan Agung merupakan wilayah tempat pengerahan pasukan infanteri vang handal. Pada jaman perlawanan pangeran Diponegoro, Bagelen menjadi salah satu basis atau markas perlawanan. Di daerah yang aman ini, mesiu dan aneka senjata dapat dibuat, termasuk keris dan segala macam tosan aji. Keris vang berasal dari wilayan ini hampir dipastikan memiliki karakteristik bahan yang khas, yaitu memiliki kandungan baja yang banyak.
Keris dari Bagelen lebih berat dibandinkan dengan keris Mataram lainnya. Kalau membuat luk tidak serengkol keris Mataram, bahkan hamper menyerupai keris luk yang keluar dari wilayah Segaluh. Pada umumnya keris dari wilayah ini berbentuk keris lurus. Keris Baggelen kurang memperhatikan estetika Pamor. Bahan pamor yang dipakai tidaklah sebagus bahan pamor Mataram, atau bahkan pamor yang keluar merupakan hasil wasuhan besi. Gradasi warna antara besi dan pamor tidak begitu kontras atau biasa disebut nyanak.
Keris bagelen memang kurang memperhatikan nilai 'estetika', Tapi tentunya penilaian estetis adalah penilaian yang cukup subyektif. 'Estetika’ pemberontak dan 'estetika' penguasa jelas berbeda. Bagi laskar Diponegoro, vang disebut 'estetis' mungkin adalah sebaik mana sebilah keris, pedang, atau tombak mampu bertahan, kuat, dan praktis untuk digunakan dalam pertempuran. Tampaknya keris Bagelen ini telah mewakili semangat 'estetis' bagi para laskar kraman Diponegoro. Estetisnya sebuah senjata atau pusaka adalah pada nilai fungsi 'atau utilitisnya.
Dimata laskar perlawanan, nilai fungsi sebilah keris sebagai senjata lebih diutamakan ketimbang nilai estetis yang lain. Sebilah keris lurus dengan kandungan baja vang lebih banyak, dengan dapur yang kadang-kadang melenceng dari pakem yang ada, lebih berdava guna dalam sebuah pertempuran. Mungkin juga para Mpu pembuat senjata bagi kelompok pemberontak waktu itu juga harus bertempur dengan waktu, sehingga nilai fungsi keris sebagai senjata lebih diutamakan ketimbang nilai'estetis'nva.

Ngenta-enta vs Ngayogyakarta
Ngenta-enta terletak di sebelah barat Godean Jogjakarta. Dan jaman Mataram, kawasan ini terkenal sebagai kawasan para Mpu pembuat keris. Diawal abad 20, hidup seorang Mpu bernama Kyai Supawinangun dan diawal abad 21 seorang penerusnya Ki Djena Harumbraja meninggal dunia. Dengan meninggalnya Ki Djena Harumbraja tradisi keris di wilavah ini berakhir.
Tangguh Ngenta-enta walaupun saat ini masuk dalam wilayah administratif Daerah Istimewa Yogjakarta memiliki karakteristik yang berbeda dengan tangguh Jogjakarta pada umumnya. Keris Ngenta-enta lebih bernuansa gaya Majapahit ketimbang dengan gaya Jogjakarta, walaupun gava Jogjakarta juga masih 'berbau' Majapahit. Kalau Keris Jogjakarta banvak menggunakan bahan pamor dari batu meteor prambanan, maka Keris Ngenta-enta menggunakan bahan pamor dari nikel murni. Secara keseluruhan penampilan Keris Ngenta-enta lebih 'gebyar' pamornya dibandingkan dengan Keris Jogjakarta.
Menariknya Mpu Supowinangun bekerja hanya atas perintah Kepatihan, bukan bekerja atas perintah Kraton. Saat itu Kraton memiliki Mpu sendiri, yaitu Mpu Prawiradahana dan Mpu Tarunadahana. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi keris di Jogjakarta dibatasi oleh pemerintah Kolonial, sebab pada waktu itu Kepatihan secara administratif bertanggungjawab hanya kepada Residen bukan kepada Raja, Sejak Hamengkubuwana V, praktis pemerintahan Kerajaan Jogjakarta berada dibawah perintah pemerintah Kolonial Belanda, Kraton tidak lagi memiliki kemerdekaan dan kedaulatan.

Mistik Keris adalah Sebuah “Mistake”
Sedikit kembali ke era Sultan Hamengkubuwana V. Setelah situasi sedikit mereda Sultan Hamengkubuwana V berinisiatif untuk membangkitkan kembali tradisi Jawa-Mataram. Karena terlalu lelah dengan masalah perang Jawa yang cukup 'merepotkan' kalangan istana, Sultan Hamengkubuwana V lebih percava dan menaruh harapan akan masa depan. pemerintahannya kepada ResidenBelanda. Namun Sultan butuh sebua legitimasi kultural yang akan menambah wibawa kekuasaannva. Perang Jawa yang melelahkan telah menguras energi dan wibawa Raja dihadapan rakyat. Fakta bahwa separoh penduduk Jawva umunnya dan Ngayogjakarta Hadiningrat khususnya berpihak pada pemberontak Diponegoro. Seorang pangeran pemberontak yang lebih dicintai rakyatnya ketimbang Raja. Melihat hal ini Sultan Hamengkubuwana V ingin bermain-main dengan kesadaran magis rakyatnya.
Sultan menjalankan provek untuk mengumpulkan semua pusaka Kraton dan bukan hanya yang tersebar dan dimiliki oleh kalangan bangsawan maupun umum. Semua benda-benda vang dianggap keramat tersebut harus kembali ke perbendaharaan pusaka Kraton. Pusaka vang berwuiud keris, pedang, tombak, dan sejenisnva dianggap mampu membius kesadaran rakyat untuk tidak melawan Raja. Selain itu Raja juga memerintahkan untuk menduplikat beberapa pusaka Kraton, seolah-olah kurang percava pada pusaka vang telah ada. Untuk provek ini ditunjuklah Tumenggung Riyakusuma sebagai pemimpin atau 'jejeneng daripara Mpu kolektif.
Kehadiran seorang Diponegoro yang dipercava sebagai Erucakra, Mesiah, atau Ratu Adil berakibat pada jatuhnya wibawa Raja pada titik nadir. Mitos Ratu Kidul dan Eyang Jagad di gunung Merap, sirna oleh sosok Erucakra yang menjelma ke dalam sosok Sinuwun Kanjeng Sultan Ngabdulkamid Herucakra Kabiri Mukminin Kalipah Rasullullah Jawa alias Diponegoro. Dan sosok sang Ratu Adil sirna oleh penangkapannya dalam sebuah persekongkolan jahat di Magelang (ditangkapnva Diponegoro). Harapan akan munculnva Ratu Adil sirna dengan berakhirnva perlawanan Diponegoro.
Dan semua seperti tersadar oleh sebuah pelajaran balwa mistik dalam sebuah mitos adalah sebuah mistake.

Rabu, 19 November 2008

Parungsari Wos Wutah

DAPUR PARUNG SARI
Rician : Luk tiga belas, kebang kacang, jalen lambe gajah dua, pijetan tikel alis, sogokan rangkap, greneng (terkikis), ada-ada
Pamor : Wos Wutah
Tangguh : Mataram Sultan Agung
Warangka : Gayaman Surakarta
Pasikutan : Wingit, dhemes, luwes.
Asal : ML