Rabu, 22 Oktober 2008

KERIS DAPUR SEMPANA ADEG

KERIS DAPUR SEMPANA
Dapur Sempana Luk Sanga


Tangguh : Mataram Sultan Agung
Ricikan : Kembang Kacang Pugut, Jalen Aking, Jalu Memet, Pijetan
Pucuk : Anggabah opong
Pamor : Adeg Sapu, tergolong pamor pemilih tetapi lebih banyak yang cocok daripada tidak. Penolak bala, guna-guna, wabah penyakit, angin ribut, banjir, bahaya api dan lainnya.
Pamor adeg kerap kali disebut juga pamor singkir. Sebutan ini tidak sepenuhnya benar karena Singkir adalah nama empu di Blambangan yang kebetulan memang banyak membuat keris motif pamor adeg. Mungkin penyebutan ini dikarenakan bahwa tuah pamor adeg dipercaya sebagai penangkal bahaya (singkir geni, singkir baya, dll).

Warangka : Kayu Sanakeling Sandang Walikat Ukiran Motif ukiran Madura (jurigan)
Hulu : Kayu Sanakeling Wanda Yudawinatan Surakarta
Mendak : Kuningan Tumbar pecah Surakarta
Pasikutan : wingit.
Asal : ML

Senin, 20 Oktober 2008

PHILOSOFI DAPUR BROJOL

Philosofi Nama Dapur BROJOL
Disadur dari Majalah PAMOR Edisi 08 – Tulisan Wawan Wilwatikta


Brojol Sebagai Simbol Kelahiran
Dalam masyarakat yang memandang keris dari sisi esoteri, seringkali dapur ini dikaitkan dengan tuahnya “memperlancar kelahiran jabang bayi". Sehingga mungkin banyak orang yang menganggap keris ini hanya cocok untuk mereka yang berprofesi sebagai dukun bayi. Benar dan tidaknya mengenai tuah tersebut, hanya Tuhan yang mengetahui. Namun di sisi lain, dijumpai bahwa banyak masyarakat yang memperoleh pusaka warisan keluarga berdapur Brojol, meskipun mereka bukan dari keturunan dukun bayi.
Dapur Brojol, sebagaimana dapur keris lainnya merupakan suatu karya yang mempunvai muatan spiritual berupa ajaran-ajaran hidup. Secara terminology, brojol memang identik dan terkait dengan masalahi kelahiran. Brojol merupakan ungkapan peristiwa kelahiran jabang bayi ke dunia. Keris berdapur brojol, sebagai simbol kelahiran bayi sebenarnya bukan pada proses kelahiran itu sendiri (mbrojol-lahir) yang akan disampaikan, akan tetapi ditujukan pada kesucian jabang bayi yang baru dilahirkan, yaitu fitrah manusia.
Ajaran-ajaran Jawa disampaikan penuh dengan pengetahuan esoterik vang merangsang angan-angann dan perenungan. (Niels Mulder, 2001:129). Penafsiran yang dilakukan sangat tergantung wawasan dan pengalaman masing-masing pribadii yang sangat subjektif. Dalam budayal suatu ajaran yang dianggap penting jika disampaikan tanpa simbolisasi tentu menjadi tidak menarik dan juga kurang menyenangkan, karena disampaikan secara biasa-biasa saja (polos) dan tegas. Sebaliknya semakin tersembunyi (simbolik) dan semakin rumit maka akan semakin menarik dan makin mengembangkan pemikiran.

Fitrah Manusia
Fitrah manusia merupakan potensi dasar yang ada pada manusia untuk percaya adanya Tuhan dan selalu condong kepada kebenaran. Fitrah ini diciptakan dan bersumber dari Tuhan. Oleh karenanya, fitrah manusia mengarah kepada tujuan yang satu, kebenaran dan kesucian jiwa yang menjadikan manusia selalu kembali dekat kepada Penciptanya.
Pada hakekatnya, dalam diri manusia ada fitrah untuk senantiasa berbuat baik dan menjauhkan diri dari perbuatan jahat. Nurani manusia selalu merindukan kedamaian dan ketenangan. Jauh di dalam lubuk hati manusia, pada dasarnya selalu ada kerinduan untuk terus menerus mengikuti jalan agama yang benar. Inilah fitrah manusia yang sesungguhnya, fitrah yang diajarkan agama.
Fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan membutuhkan adanya Tuhan Sang Pencipta. Dengan kecenderungan fitrah inilah manusia - bagaimanapun ingkarnya dia - ketika ia dalam keadaan tak berdaya, maka tetap akan mengakui keberadaan dan kekuasaan Tuhan. Inilah hakikat fitrah manusia.
Apabila mereka taat dan patuh pada perintah Tuhan, mereka akan selalu dekat dengan-Nya. Apabila ia dekat dengan Tuhannya, ia akan selalu merasakan kehadiran Tuhan setiap saat. la akan merasa bahwa setiap perilakunya, gerak geriknya berada dalam pengawasan Tuhan. Jika fitrah manusia telah kembali dan terjaga, timbullah sifat Ihsan dalam dirinya; serasa ia berada dalam perhatian Tuhan, sehingga menjadikannya tertib dan berhati-hati dalam setiap sikap dan perbuatan. Prinsip kebaikan ini diakui oleh seluruh umat manusia, sedangkan perilaku yang tidak baik akan senantiasa mengantarkan manusia menuju kehinaan dan kesengsaraan.
Ironisnya, banyak di antara kita yang melupakan fitrah insaniyah (kemanusiaan) kita. Sebagian besar kita justru dipengaruhi, bahkan dikuasai oleh nafsu. Kita sering menjadikan nafsu sebagai illah (Tuhan) dalam kehidupan ini. Padahal dalam ajaran agama Tuhan secara tegas mengecam para budak 'nafsu'. tidak lain seperti halnya binatang yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Betapa nista dan hinanya sebutan padanan yang diberikan Tuhan kepada para pemuja nafsu. Mereka diibaratkan seperti binatang, bahkan jauh lebih hina dari binatang. Inilah saat ketika manusia tergelincir berbuat kejahatan yang menghinakan dirinya serta menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan dan agamanya. Manusia diciptakan sebagai mahluk paling sempurna, karena dikaruniai akal. Akal akan menuntun manusia untuk menentukan derajatnya, apakah di bawah binatang atau bahkan di atas malaikat.
Dalam pandangan jawa ada dua macam nafsu yang sangat menghalangi nilai kemanusiaan, yaitu: hawa nepsu (nafsu-nafsu) dan Pamrih ( Egoisme). Tak perlu disebutkan disini bermacam nafsu, namun secara umum ada idiom vang di sebut Ma Lima, yaitu: Madat (nyandu obat terlarang), Madon (main perempuan. selingkuh, seks bebas), Minum (Mabuk), Maling (mencuri, menipu, korupsi), Main (judi).
Hawa Nepsu yang tidak baik, merupakan perasaan dan tindakan kasar yang melemahkan control diri manusia sehingga dapat melemahkan kekuatan batin. Orang yang dikuasai nafsu menunjukkan bahwa akal budi belum menduduki pengendalian iiwanya. Manusia semacam itu tidak lagi mengembangkan segi-segi halusnya (perasaan) dan kerbanyakan akan menimbulkan konflik dan pertentangan, baik dalam keluarga maupun dalam dalam lingkungannya dan masyarakat.
Halangan yang kedua yaitu Pamrih (egoisme). Bertindak oleh karena pamrih berarti hanya mementingkan kepentingannya sendiri tanpa mengindahkan kepentingan orang lain bahkan seringkali merugikan orang lain. Pamrih merupakan sikap yang memperlemah manusia dari dalam. Pamrih terutama terkait dengan tiga nafsu, yaitu : Nepsu menange dewe (menganggap dirinya paling berkuasa), Nepsu benere dewe (menganggap dirinya yang paling benar), dan Nepsu butuhe dewe (hanya memperhatikan kebutuhan diri sendiri).

Dua macam nafsu tersebut menjadi halangan manusia mencapai Fitrah yang telah diberikan oleh Tuhan. Banyak keinginan manusia diluar kebutuhannya. Manusia yang telah dikuasai oleh nafus selalu berusaha untuk memenuhi segala keingannnya tanpa batas, meskipun ditempuh dengan cara-cara yang merendahkan derajat/martabatnya (suap, korupsi, menipu orang lain, mencuri dan sebagainya).
Hasil tersebut dapat memenuhi keinginan manusia untuk memperoleh uang dan harta yang melimpah, rumah mewah, mobil berkilap, sandangan serba bergengsi, gaya hidup hedonisme/konsumtif dan sebagainya. Meskipun hal tersebut dapat diperoleh, akan tetapi dari lubuk hari yang paling dalam, ada perasaan tidak tenteram, merasa berdosa, itulah fitrah yang diberikan Tuhan pada manusia.
Bagi manusia yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia tidak mau merendahkan derajatnya, ia bahkan akan selalu berusaha untuk mempertahankan fitrah kemanusiaannya. Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaannya. Tetapi bagi mereka yang telah dibutakan mata hatinya oleh dekapan nafsu, la akan terlena dan terbuai, tidak mempedulikan lagi fitrah kemanusiaannya yang suci. la akan terlelap dalam bisikan nafsu, sampai akhirnya maut dating menjemputnya.
Untuk mengendalikan nafsu-nafsu dapat dilakukan dengan cara laku tapa dengan sedikit mengurangi makan, tidur, menguasai diri dibidang seksual dan lain sebagainva. Ajaran Jawa mengatakan "Cegah Dhahar lan Guling", sebagaimana dalam Serat Wulangreh tembang Durma:
"Dipun sami ambanting sariranira, cegah dhahar lan guling, darapon suda, nepsu kang ngambra-ambra, rerema ing tyasireki, dadi sabarang karsanira lestari”
(artinva: Lakukanlah prihatin, janganlali terlalu banvak makan dan terlalu banyak tidur, agar nafsu yang menyala-nvala dapat berkurang dan hati menjadi tenteram. Akhirnya segala sesuatu yang hendak dicapai akan terlaksana).
Sesuai dengan hal tersebut, bagi orang Jawa laku tapa bukanlah meniadakan sama sekali dorongan biologis akan tetapi sekedar mengaturnya. Hal tersebut tentu dapat dicapai dengan membiasakan diri atau latihan dari sedikit. Taat terhadap perintah Tuhan dan selalu menjalankan apa vang telah diajarkan dalam agama juga merupakan suatu laku tapa. Sehingga dengan laku tapa demikian, diharapkan akan mendekatkan diri kepada Tuhannya dan diharapkan manusia selalu pada fitrahnya.

Pijetan menunjukkan kelapangan hati, Gandik polos menunjukkan ketabahan
Dapur Brojol mempunvai ricikan Pijetan yang merupakan symbol dari kelapangan hati. Gandik polos merupakan symbol ketabahan dalam menjalani hidup. Kelapangan hati terhadap sesuatu yang diperoleh, khususnya terhadap keadaan yang tidak menyenangkan hati. Fitrah manusia itu pada dasarnya memiliki kecondongan percaya pada kekuasaan dan takdir Tuhan. Takdir bagi orang Jawa disebut dengan istilah "pepesthen". Pepesthen mempunyai arti segala sesuatu vang menyangkut hidup manusia tidak dapat dilepaskan dari takdir Tuhan. Ada ajaran Jawa yang mengatakan "Ora ana kasekten sing madhani pepesthen, awit pepesthen iku wis ora ana sing bias murungake”. Artinya tiada kesaktian yang mempunyai kepastian sebagimana yang dimiliki Tuhan, karenanya tidak ada yang dapat menggagalkan kepastian dari Tuhan. Oleh karena itu, dalam paham ajaran Jawa selalu beranggapan bahwa abang birune urip (merah birunya hidup) tergantung dari takdir Tuhan. Peristiwa kehidupan di dunia yang menyangkut begja cilaka, bungah susah, sugih mlarat ('keselamatan-bencana, sengsara-kesenangan, kekayaan-kemiskinan) dan sebagainya sudah merupakan pepesthen. Atas dasar itu, orang Jawa menyikapi pandangan hidup dengan mung saderma nglakoni (sekedar menjalankan) apa yang telah ditentukan oleh Tuhan.
Dapat dikatakan bahwa ajaran Jawa percaya bahwa segala sesuatu yang terjadi pada manusia merupakan kepastian dari Tuhan. Karena merupakan kepastian dari Tuhan maka segala yang telah terjadi justru harus disyukuri, diambil hikmahnya dan harus diterima dengan ikhlas dan Sumeleh (dengan hati yang lapang). Takdir yang terjadi tidak bisa diubah oleh manusia, maka manusia hanya Sumarah (pasrah dan tabah) pada kehendak Tuhan. Sumarah dan sumeleh menunjukkan kestabilan jiwa seseorang dalam menjalani hidup.
Namun demikian, seriap orang wajib berikhtiar dan berusaha semampunya (wiradat). Hal tersebut menggambarkan bahwa hidup ini perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya. Orang yang ngoyo, cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, yang justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

Brojol Merupakan Ajaran Hidup Menuju Fitrah Manusia
Dapur Brojol yang sederhana merupakan suatu symbol mengenai ajaran hidup bagaimana seseorang untuk menjaga fitrah yang telah diberikan oleh Tuhan. Meskipun bentuknya sederhana, dapur ini sarat dengan ajaran hidup yang sangat dalam. Meskipun fidak mudah untuk mencapainya, namun paling tidak ajaran ini mengingatkan manusia. Seorang yang masih sadar akan eksistensi kemanusiaannya, tentu ia tidak mau merendahkan derajatnva, ia bahkan akan selalu berusaha untuk mempertahankan fitrah kemanusiaannva. Bahkan, ia akan selalu berusaha meningkatkan derajat serta kualitas kemanusiaannya.
Nafsu- nafsu duniawi yang menghalangi pencapaian fitrah, dikendalikan dengan tapa laku dan memahami takdir yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Karena hidup ini tidak lepas dari kepastian dari Tuhan maka segala yang telah tercapai harus disyukuri, diambil hikmahnya dan harus diterima dengan ikhlas dengan Sumeleh (dengan hati yang lapang) dan Sumarah (tabah dan pasrah). Sumarah dan sumeleh menunjukkan kestabilan jiwa seseorang dalam menjalani hidup. Namun demikian, orang harus wajib berikhtiar, harus berusaha semampunya (wiradat). Namun usaha tersebut perlu dijalani sewajarnya, ora ngoyo atau memaksakan diri diluar batas kemampuannya, melanggar ajaran agama dan merugikan orang lain. Orang yang hidup ngoyo dan neko-neko (bertingkah), cenderung untuk berbuat dan berperilaku tidak baik, vang justru menjauhkan dirinya dari pencapaian fitrahnya sebagai manusia.

Sabtu, 18 Oktober 2008

KERIS DAPUR MAHESA LAJER


KERIS DHAPUR MAHESA LAJER

Dapur Mahesa lajer :
Membantu kehidupan petani, menyuburkan tanaman, menolak hama, menghalau wabah ternak, menolak penyakit, menjaga stamina pemiliknya.
Tangguh : Mataram Senopaten
Bilah : Anggodhong Pohong, Pamor Ngulit Semangka Wengkon
Memudahkan mencari jalan rejeki dan mudah bergaul pada siapa saja dan dari golongan manapun. Pamor ini tidak memilih dan cocok bagi siapa saja.
Wengkon / Lis-lisan/Tepen : membantu pemiliknya lebih hemat dan tahan godaan.
Pucuk : Ngundup Gambir
Ganja : Ganja Wuwung Pamor Ngulit Semangka
Pamor Sor-soran : Putri Kinurung
Bentuk menyerupai gambaran danau dengan tiga atau lebih “pulau” ditengahnya. Letaknya ditengah sor-soran). Tuahnya untuk memudahkan mencari rejeki dan mencegah sifat boros. Bisa diterima dikalangan manapun. Tidak pemilih
Pasikutan : Lugu, Kokoh, kering,
Warangka : Kayu Sawo Gayaman Surakarta ukiran lung kamarogan
Mendak : Tumbar Pecah Surakarta
Hulu : Kayu Sawo Wanda Yudowinatan Surakarta
Asal : ML

Kamis, 16 Oktober 2008

KEPUSTAKAAN

I. BUKU LAMA TENTANG KERIS

1. Darmosugito, "Dhuwung, Winawas Sawatawis" jilid 1 dan 2 , Citra Jayabaya, Surabaya, 1961
2. Dwidjosaputra, "Pakem Dapur Keris", manuskrip 2 jilid, Solo 1956
3. NN (No Name), "Kagungan Dalem Buku Pusaka Dalem, Wangkingan lanSapanunggalanipun", dilatinkan Sutanto 1986, Milik Keraton Yogyakarta 1854
4. NN (No Name), "Wesi Aji, Pakem Doewoeng Angka 1", De Blikksem Stoomdrukkerij, Solo 1934
5. NN (No Name), "Wesi Aji, Pakem Doewoeng Angka 2", De Blikksem Stoomdrukkerij, Solo 1934
6. NN (No Name), "Tjoeriga Dapoer, Pakem Doewoeng Angka 3", De Blikksem Stoomdrukkerij, Solo 1935
7. NN (No Name), "Pamor Doewoeng", De Blikksem Stoomdrukkerij, Solo 1935
8. NN (No Name), "Pamor Doewoeng, Jilid 2, Pakem Doewoeng Angka 5", De Blikksem Stoomdrukkerij, Solo 1937
9. Mas Ngabehi Wirasoekadga, “Serat Panangguhing Duwung: Amratelakake Kawruh Bab Panangguhing duwung, Wiwit Tangguh Pajajaran dumugi Tangguh Surakarta”, Toko Buku “Sadu-Budi”, Solo (tanpa tahun)
10. R. Soedjonoredjo, “Kitab Pelbagai Pengetahuan tengatng hal : KERIS”, Boekhandel Tan Khoen Swie, Kediri, 1951
11. Sardjadi Hs, “Kawruh Dhuwung”, tanpa penerbit dan tahun
12. Pametri Wiji, “Ilmu Keris 1”, Kumpulan artikel, tanpa tahun :
- Keris Antara Mitos dan Realita, Ir. Hayono Haryoguritno
- Keris Pusaka Nusantara (Esoteri Keris), Dr. H.M. Dipoyono
- Isi Keris Ditinjau dari Sudut Pandang Seni Rupa, Drs. Budihardjo Wirjodirjo S.U
- Warangka dan Falsafa Keris (bahasa Jawa), R. Riyo Purbobudoyo (Empu Mranggi)
13. Pametri Wiji, “Ilmu Keris 2”, Kumpulan artikel, tanpa tahun :
- Pedoman Ilmu Keris, S. Lumintu
- Keris : sejarah dan Fungsinya, Prof. Dr. S. Djoko Soekiman
- Sejarah Para Empu (Bahasa Jawa), R. Oesodo
14. Pametri Wiji, “Ilmu Keris 3”, Kumpulan artikel, tanpa tahun :
- Besi, Baja dan Pamor Keris
- 51 Dhapur Keris Menurut Winter
- 118 Nama Dhapur Keris Menurut Tulisan Tangan di Kraton Jogjakarta
- Ciri-ciri Cengkok Keris Menurut Jamannya, Ki Suparman M.S
- Penelitian Pendahuluan tentang Tosan Aji, Prof Dr. Haryono Arumbintang MSC, dkk
- Isi atau Esoteri Tosan Aji, BPH Sumodiningrat, Mr
15. Pametri Wiji, “Ilmu Keris 4”, Kumpulan artikel, tanpa tahun
- Dialog/komunikasi dengan keris, Herman Utomo & Ny Silvia Utomo
- Bunga Rampai Soal Keris (Bahasa Jawa), R. Oesodo
- Keris Jawa dan Peranannya dari Masa ke Masa, Ir. Haryono H. Guritno
16. Mulyani, Kliping Tanya jawab : Penangguhing Dhuwung Solo Pos
17. Ir. H. Wibatsu Harianto, “Pamor Keris 1 : Motif Pamor dan Daya Gaibnya”, Kumpulan Kliping dan Artikel.
18. Ir. H. Wibatsu Harianto, “Pamor Keris 2 : Motif Pamor dan Daya Gaibnya”, Kumpulan Kliping dan Artikel.

II. BUKU MODERN TENTANG KERIS
Drs. Hamzuri, “Petunjuk Singkat tentang Keris”, Museum Pusat, Jakarta 1973
Syamsul Alam, “Esoteri Keris”, Citrajaya, Surabaya, 1983
Bambang Harsrinuksmo, “Mengungkap Rahasia Isi Keris”, Pustaka Grafikatama, Jakarta, 1992.
Bambang Harsrinuksmo, “Tanya Jawab Soal Keris dengan Bambang Harsrinuksmo”, Pusat Keris Jakarta, Jakarta, 1985
Yayasan Damartaji, “Dhapur: Buku Gambar Bentuk Keris dan Tombak”, Damartaji, Jakarta, 1998
S. Lumintu, “Daya Gaib Keris Pusaka & Kayu”, Manuskrip, 1969
S. Lumintu, “Pamor Keris: Macam dan Tuahnya”, Jogjakarta, 2000
S. Lumintu, “Seri Ilmu Keris”, Jogjakarta, 1996 (stensilan)
S. Lumintu, “ Ilmu Keris menurut Serat Centini”, Pametri Wiji, Jogjakarta, 1993 (stensilan)
Ki Hudoyo Doyodipuro, “Keris: Daya Magic-Manfaat-Tuah-Misteri” (Revised Edition), Dahara Prize, Semarang, 2005 (cetakan ke-10)
Prasida Wibawa, “Pesona Tosan Aji”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2008
Garret and Bronwen Solyom, “The World of Javanese Keris”, 1979
Haryono Haryoguritno, “Keris Jawa: Antara Mistik dan Nalar”, Indonesia Kebanggaanku, Jakarta, 2005
Ki Juru Bangunjiwo, “Misteri Pusaka-pusaka Soeharto”, Galangpress, Jogjakarta, 2007
Bambang Harsrinuksmo, “Ensiklopedi Keris”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2004
Koesni, “Pakem Pengetahuan tentang Keris”, Aneka Ilmu, Semarang, 1979
Suhartono Rahadjo, “Ragam Hulu Keris: Sejak Jaman Kerajaan”, Kreasi Wacana, Jogjakarta, 2003
Bambang Harsrinuksmo, “Mengungkap isi Keris”, Grafikatama, Jakarta, 1992
BS. Buanadjaya, Keris Nusantara, Aneka, Solo, 2001
MT. Arifin, “Keris Jawa: Bilah, Latar Sejarah, hingga Pasar”, Yogjakarta, 2006
Ragil Pamungkas, “Mengenal Keris: Senjata :magis” Masyarakat Jawa”, Narasi, Jogjakarta, 2007

III. BUKU BUDAYA & SASTRA
Dr. Purwadi, “Ensiklopedi Kebudayaan Jawa”, Bina Media, Jogjakarta, 2005
Thomas Stamford Raffles, “The History of Java” (Terjemahan), Narasi, Jogjakarta, 2008
Dr. Purwadi, “Babad Tanah Jawi”, Gelombang Pasang, Jogjakarta, 2008 (cetakan kedelapan)
Dr. Purwadi, “Babad Majapahit”, Keris Pustaka, Media Abadi Jogjakarta, 2005
Dr. Purwadi, “Babad Mataram”, Keris Pustaka, Media Abadi Jogjakarta, 2008
Dr. Purwadi, “Babad Giyanti: Konflik Kerajaan Mataram menjadi Surakarta dan Yogjakarta”, Keris Pustaka, Media Abadi Jogjakarta, 2008
Dr. Purwadi, “Kraton Pajang”, Panji Pustaka Jogjakarta, 2008
Andi Harsono, “Tafsir Ajaran Serat Wulangreh”, Pura Pustakan Jogjakarta, 2005
Indy G. Khakim, “Mutiara Kearifan Jawa”, Pustaka Kaona, Blora, 2008
FX. Koesno, “Sebuah Kumpulan Puspa Sari: Citra Seorang Warga Kristen Katolik Dalam Menanggapi Isi Kitab Bhagawad Gita”, 1985
FX. Koesno, “Sebuah Kumpulan Puspa Sari: Memperkenalkan Filsafat Jawa, Seni Widya, dan simbolisme dalam Pewayangan dan Pedalangan”, 1982
S. Probohardjono, “Pakem Pedalangan : Lampahan Wayang Purwa Jilid I”, CV. Ratna, Surakarta
Sudirman Tebba, “Syaikh Siti Jenar”, Pustaka Hidayah, Bandung, 2003
Tuti Mukti, “Semar: Dunia Batin Orang Jawa”, Galangpress, Jogjakarta, 2005
Budiono Herusatoto, “Simbolisme Jawa”, Ombak, Jogjakarta, 2008
Capt. R.P. Suyono, “Ajaran Rahasia Orang Jawa”, LKIS, Jogjakarta, 2008
Siti Hardiyanti Roekmana, “Butir-butir Budaya Jawa”, Yayasan Purna Bhkati Pertiwi, Jakarta, 1996 (cetakan ke-8)
Suryanto Sastroatmojo, “Citra Diri Orang Jawa”, Narasi, Jogjakarta, 2006
Linus Suryadi, “Regol Megal Megol: Fenomena Kosmogoni Jawa”, Andi Offset, Jogjakarta, 1993
Soenandar Hadikoesoema, “Filsafat KeJawa-an: ungkapan Lambang Ilmu Gaib dalam Seni Budaya Peninggalan Leluhur”, Yudhagama, Jakarta, 1985
Frans magnis Suseno, “Etika Jawa: Sebuah Analisa tentang Kebijakan Hidup Jawa”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003(cetakan ke-9)
Frans magnis Suseno, “Javanese Ethics and World-View”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997
Y.B. Mangun Wijaya, “Sastra dan Religiositas”, Sinar Harapan, Jakarta, 1982
Y.B. Mangun Wijaya, “Manusia Pacamodern, Semesta, dan Tuhan: Renungan Filsafat Hidup Manusia Modern”, Kanisius, Jogjakarta, 1999
Drs. R. Soetarno, “Aneka Candi Kuno di Indonesia”, Dahara Prized, Semarang, 1987
Dr. Hazim Amir, “Nilai-nilai Etis dalam Wayang”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994
Ruth Q. Sun, “Kisah Hewan-hewan Simbol SHIO: Menggali Butir-butir Kebijaksanaan dari Timur – Terjemahan dari : The Asian Animal Zodiac”, Delphi, Jakarta, 2003
Ir. Sri Mulyono, “Semar”, Gunung Agung, Jakarta, 1982
Tanpoaran (NN), “Sangkan Paraming Dumadi”, tanpa tahun
Sapphire, “Sapta Pudjangga: Djojobojo, Ranggowarsito, Sabdopalon, dll”, Kwa Giok Djing, Kudus, tanpa tahun
Prof Drs. S. Wojowasito, “Kamus Kawi-Indonesia”, CV. Pengarang
Mohamad Roem, dkk., Tahta ntuk Rakyat : Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX, Gramedia, Jakarta, 1982
S. Ann Dunham (ibu Barack Obama – presiden terpilih AS), Pendekar-pendekar Besi Nusantara: Kajian Antropologi tentang Pandai Besi Tradisional di Indonesia, Mizan, Bandung, 2008

IV. MAJALAH KERIS
Bundel Majalah Keris I Vol. 1 – 6, Pusaka Keris Indonesia, Jakarta
Bundel Majalah Keris I I Vol. 7-12, Pusaka Keris Indonesia, Jakarta
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 1, September 2006
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 2, Desember 2006
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 3, Maret 2006 (???)
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 4, Juli-September 2007
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 5, Oktober – Desember 2007
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 6, Januari – Maret 2008
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 7, April – Juni 2008
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 8, Juli - September
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 9, Oktober – Desember 2008
Majalah Triwulan: Pamor: Media Khusus Tosan Aji, Yayasan Panji Nusantara, Edisi 10, Januari – Maret 2009
Warta Tosan Aji, Yayasan Masagung

V. NOVEL & CERITA BUDAYA
Wiroatmojo, “Arjuna Kembar”, Balai Pustaka, Jakarta, 1988
Sindhunata, “Anak Bajang Menggiring Angin”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1983
Sindhunata, “Semar Mencari Raga”, Kanisius, Jogjakarta 1999
Sunardi D.M, “Ramayana”, Balai Pustaka, Jogjakarta, 1972
Sunardi D.M, “Barata Yudha”, Balai Pustaka, Jogjakarta, 1978
Nyoman S. Pendit, “Mahabharata”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
M. saleh, “Mahabarata”, Balai Pustaka, Jakarta, 1949
Arswendo Atmowiloto, “Senopati Pamungkas” Jilid 1 – 2, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003
SH. Mintardja, “Nagasasra dan Sabuk Inten” Jilid 1, 2 dan 3, BP Kedaulatan Rakyat, Jogjakarta, 2005 (cetakan keempat)
Sindhunata, “Putri Cina”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007
Y.B. Mangunwijaya, “Burung-burung Manyar”, Djambatan, Jakarta, 1981
Y.B. Mangunwijaya, “Burung-burung Rantau”, Djambatan, Jakarta
Y.B. Mangunwijaya, “Pohon-pohon Sesawi”, KPG, Jakarta, 1999
Y.B. Mangunwijaya, “Rumah Bambu”, KPG, Jakarta, 2000
Suparto Brata, “Mencari sarang Angin”, Grasindo, Jakarta, 2005
Sunardi DM, “Sumbadra Larung”, Balai Pustaka, Jakarta, 1977
Sunardi DM, “Arjuna Wiwaha”, Balai Pustaka, Jakarta, 1986
Sunardi DM, “Srikandi Belajar Memanah”, Balai Pustaka, Jakarta, 1978
R.A. Kosasih, “Dewi Subadra” Jilid A dan B, Komik
Abdullah Rozaq, “Kisah Keteladanan Walisongo: Penyebar Islam di Tanah Jawa”, CV. Surabaya
Saini K.M., Seri Kesatria Hutan Larangan : Pangeran Anggadipati, Darah dan Cinta di Kota Medang , Bentang, Jogjakarta, 2008
Saini K.M., Seri Kesatria Hutan Larangan : Raden Banyak Samba: Bara Dendam Menuntut Balas, Bentang, Jogjakarta, 2008
Saini K.M., Seri Kesatria Hutan Larangan : Pertarungan Terakhir : Lahirnya Sang Ksatria, Bentang, Jogjakarta, 2008
Langit Kresna Hariadi, Gajahmada, Tiga Serangkai, Solo, 2004
Langit Kresna Hariadi, Gajahmada: Takhta dan Angkara, Tiga Serangkai, Solo, 2006
Langit Kresna Hariadi, Gajahmada: Hamukti Palapa, Tiga Serangkai, Solo, 2006
Langit Kresna Hariadi, Gajahmada: Perang Bubat, Tiga Serangkai, Solo, 2006
Langit Kresna Hariadi, Gajahmada: Madakaripura Hamukti Moksa, Tiga Serangkai, Solo, 2007
Langit Kresna Hariadi, Candi Murca : Ken Arok Hantu Padang Karautan, LKH Prod., Malang, 2007
Langit Kresna Hariadi, Candi Murca : Air Terjun Seribu Angsa, LKH Prod., Malang, 2007
Langit Kresna Hariadi, Candi Murca : Murka Sri Kertajaya, LKH Prod., Malang, 2008
Langit Kresna Hariadi, Perang Paregrek : Menyambung Pentalogi Gajah Mada, LKH Prod., Malang, 2008
Gamal Komandoko, Jaka Tingkir : Jalan Berliku Menjemput Wahyu, Diva Press, Jogjakarta, 2008

VI. MISTIK JAWA
Prof Tjokorda Rai Sudharta, dkk, “Kalender 301 Tahun: tahun 1800 s/d 2100”, Balai Pustaka, Jakarta, 2006
Dr. Wang Xiang Jun, “Feng Shui Jawa”, Pustaka Raja, Jogjakarta, 2008
Anan Hajid Triyogo, “Benda-benda Bertuah Masyarakat Jawa”, Narasi, Jogjakarta, 2005
Ki Agung Pranolo, “Saatnya Dukun Bicara: Tinjauan Kritis Terhadap Takhayul dan Kebatinan”, Galangpress, Jogjakarta, 2000
Prof. H. Unus Suriawiria, “Tanaman Bernilai Magis”, Papas Sinar Sinanti, Jakarta, 2003
Purwadi, Petungan Jawa: Menentukan Hari Baik dalam Kalender Jawa, Pinus, Jogjakarta, 2006
Ragil Pamungkas, Lelaku dan Tirakat : Cara Orang Jawa Menggapai Kesempurnaan Hidup, Narasi, Jogjakarta, 2006

Rabu, 15 Oktober 2008

PHILOSOFI DAPUR JALAK SANGU TUMPENG

KERIS DAPUR JALAK SANGU TUMPENG
(Disadur dari Majalah PAMOR, Edisi 09 tulisan Wawan Wilwatikta)

Dapur Jalak Sangu Tumpeng merupakan keris lurus yang mempunyai ricikan: sogokan rangkap, sraweyan, tikel alis, gandik polos dan tingil.

Jalak Sangu Tumpeng sebagai Sebuah Pusaka

Dalam pakem perkerisan, sangat banyak dapur jalak yang kita kenal, antara lain : Jalak, Jalak Ngore, Jalak Dinding, Jalak Sinom, dan Jalak Sangu Tumpeng. Dapur Jalak hampir semuanya merupakan dapur yang populer. Bahkan kerap ditemui dapur Jalak Sangu Tumpeng disimpan sebagai pusaka keluarga. Keris dapur ini kadang diberikan orang tua kepada anaknya ketika hendak pergi merantau mencari nafkah (bekerja).
Dapur Keris Jalak merupakan dapur keris yang telah ada sejak jaman kuno. Bagi sebagian penggemar keris, dapur Jalak Sangu Tumpeng dipercaya sebagai pusaka yang mempunyai tuah ke-rejeki-an atau memudahkan mencari nafkah. Bagi sebagian orang hal semacam ini dianggap kepercayaan yang mistik dan sirik. Meski dalam kenyataannya, nuansa cultural leluhur (khususnya orang jawa) akan sulit ditinggalkan sampai kapan pun dalam memandang suatu pusaka. Karena itu tuduhan syirik jelas ditolak mentah-mentah, sebab budaya leluhur mengajarkan demikian dan sama sekali tidak memper-tuhan-kan sebilah keris. Meski demikian benturan anatar budaya dan agama masih saja sering terjadi.
Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran. Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap kuno ketinggalan jaman.
Minimnya budaya baca-tulis bangsa ini di jaman dahulu menyebabkan banyak pengajaran hidup dilakukan secara lisan (tutur). Dan agar lebih mudah mengingatnya, banyak hal “dicatat” dalam bentuk simbol-simbol dari suatu produk budaya, misalkan dalam bentuk tarian, gambar, ukiran, cerita, upacara-upacara tradisi, dan tak terkecuali keris.
Tidak ada ukuran / standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris harus diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah dapur keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala masing-masing individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu karya seni keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran mengenai hidup dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka lebar-lebar setiap interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada ajaran budi luhur para leluhur.

Penamaan dapur keris tidak lepas dari maksud dan tujuan yang hendak disampaikan dalam dapur keris itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari makna setiap ricikan yang ada dalam sebilah keris. Mungkin dengan latar belakang demikianlah, seorang empu menciptakan dapur dan memberinya nama. Empu, dalam memberi nama dapur keris tidaklah sembarangan. Sebuah nama dapat merupakan doa, harapan, simbol dari suatu ajaran atau pun pandangan hidup. Para empu pinilih tersebut tidak hanya ahli dalam hal teknis olah tempa dan laras (“ilmu”), namun juga memiliki keleluasaan pengetahuan olah batin (“ngelmu”) yang dimanifestasikan dalam karyanya, baik secara estetika teknis fisik maupun aspek spiritual. Sehingga, dalam perkembangannya keris bukan hanya sebagai senjata, namun juga sebagai karya seni tempa logam yang memuat nilai-nilai budaya luhur.
Seseorang yang memberikan keris kepada orang lain atau keturunananya, seolah memberikan pesan dan harapan, agar penerima dapat menjalankan nilai-nilai yang terkandung di dalam dapur keris tersebut. Sedangkan empu keris seolah memberikan dorongan moril dan doa agar siapa pun yang menyimpan hasil karyanya, diberikan petunjuk oleh Tuhan, sesuai dengan nilai-nilai simbolik dalam keris karyanya tersebut.

Nama Jalak Sangu Tumpeng dapat diartikan Burung Jalak Berbekal Tumpeng. Tumpeng adalah nasi (dibentuk seperti gunung) dengan segala lauk pauknya dalam sebuah nampan. Hal tersebut nampaknya aneh dan tak masuk akal. Bagaimana burung jalak yang kecil dapat membawa bekal tumpeng yang sedemikian besar dan berat? Supaya tidak kekurangan makan? Padahal burung jalak tidak doyan nasi tumpeng. Jika keliru menafsirkan, bisa jadi Jalak Sangu Tumpeng diartikan sebagai symbol keserakahan dan orang yang memaksakan diri.

Philosofi dalam Burung Jalak dan Nasi Tumpeng

Jalak merupakan species burung yang di jawa terdapat beberapa jenis, anatar lain: Jalak Kebo (hitam), Jalak Pita (putih), dan alak Suren (hitam putih). Dari beberapa jenis ini, yang paling menarik tingkah lakunya adalah jalak suren (Sturnus Contra Jalla). Di Jawa, sejak dahulu burung ini dikenal sebagai burung peliharaan yang bisa membantu pemiliknya menjaga rumah. Burung tersebut mempunyai naluri yang peka (waspada) terhadap kedatangan tamu asing baik siang maupun malam. Dia akan berbunyi keras dan serak (bukan berkicau) jika ada orang datang dan belum dikenal seolah mengingatkan (ng-eling-ake) pemilik rumah. Selain itu, Jalak merupakan burung yang dalam mencari makan tidak merugikan orang lain. Sampai di sekitar tahun 70-an masih sering kita lihat burung ini di atas punggung kerbau di sawah. Relasi simbiosis mutualisme dengan kerbau. Jalak memperoleh makanan dan kerbau jadi sehat. Di sisi lain, jalak juga dikenal sebagai burung yang setia kepada pasangannya.

Seniman Surakarta, Ki Surono Ronowibakso (Suryanto Sastroatmojo, 2006:110) memberikan pandangannya tentang burung sebagai berikut :
Kukila tumraping tiyang jawi, mujudaken simbul panglipur, saget andayani renaming penggalih, satemah saget ngicalaken raos bebeg, sengkeling penggalih. Candra pasemonanipun: pindha keblaking swiwi kukila, ingkang tansah ngawe-ngawe ngupaya boga, kinarya anyekapi ing bab kabetahanipun. Dene kukila ingkang sampun pikanthuk ing bab kabetahanipun, kukila kala wau lajeng wangsul dhumateng tuk sumberipun, asalusulipun, inggih punika wangsul dhateng susuhipun, ambekta kabetahaning gesangipun.
(terj bebas: bagi orang Jawa, burung merupakan symbol pelipur duka, memberikan rasa senang di hati,menghilangkan rasa dongkol kejengkelan di hati. Sedangkan gambaran sosoknya, dimana kepakan sayapnya melambai-lambai merupakan usaha dalam mencari pangan (nafkah), untuk memenuhi kebutuhan. Urung yang telah mendapatkan pangan, kemudian pulang kembali ke sarangnya (rumah dan keluarganya).

Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu). Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik yang sifatnya kesedihan maupun gembira.

Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain : tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong. Tumpeng sarat dengan symbol mengenai ajaran makna hidup. Tumpeng robyong disering dipakai sebagai sarana upacara Slametan (Tasyakuran). Tumpeng Robyong merupakan symbol keselamatan, kesuburan dan kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupitumbuh-tumbuhan. Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau semen, yang berarti hidup dan tumbuh berkembang. Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai arti simbolik, yaitu:

Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan merapatmenyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan “tinggi”.

Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang (wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar (nge”reh” rasa). Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk (yang dilambangkan oleh, red) ayam jago, antara lain: sombong, congkak, kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri (berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.

Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi yang paling bawah sekalipun.

Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.

Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong – sehingga untuk memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan. Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.

Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara lain kangkung, bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung symbol-simbol antara lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai. Bayam (bayem) berarti ayem tentrem, taoge/cambah yang berarti tumbuh, kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative, brambang (bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi orang lain. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding lainnya. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi) keluarga.

Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng. Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat. Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup mengenai kebersamaan dan kerukunan.

Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: mangan ora mangan waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak berarti meski serba kekuarang yang penting tetap berkumpul dengan sanak saudara. Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang barada, meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.

Ricikan pada Keris Dapur Jalak Sangu Tumpeng

Jalak Sangu Tumpeng adalah keris lurus yang mempunyai makna selalu menempuh “jalan lurus” menuju keutamaan hidup. Jalan lurus yang ditempuh yaitu dengan menjalani perbuatan yang baik (Dadya laku utama), yang antara lain: tidak sombong, dan tidak mencela orang lain serta introspeksi terhadap diri sendiri. Apalagi orang yang dianggap cerdik pandai atau berkeuasa, perlu dihindari menjadi Prawata Bramantara yaitu orang yang tutur katanya membuat gusar oang lain atau membuat suasana menjadi semakin keruh. Kata-katanya tidak menentramkan, ibarat gunung yang tampaknya indah namun menghasilkan hawa panas yang berbahaya. Lebih dari itu, “laku utama” juga meliputi tindakan selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhandan hubungan kepada keluarga, masyarakat dan lingkungannya (eling lan waspada).

Gandik Polos, merupakan symbol kekuatan, ketabahan hati, ketekunan dan rajin bekerja. Dalam budaya Jawa ada sesanti yang mengatakan : sapa sing temen bakal tinemu, sapa sing tatag lan teteg bakal tutug (siapa yang tekun akan menemukan jalan, siapa yang ulet dan tabah akan tercapai cita-citanya)

Tikel Alis, merupakan symbol baik-buruk dalam diri manusia, yang keduanya harus selalu dikendalikan. Pengendalian dua sifat tersebut akan terpancar pada watak seseorang.

Sogokan angkap (dua) dan Ada-ada, merupakan symbol dorongan/motivasi untuk selalu mempunyai ide/gagasan/inovasi kreatif untuk maju. Motivasi yang murni harus mulai dari niat lahir dan batin.

Tingil merupakan symbol bekal pengetahuan dan ketrampilan yang pinunjul. Dalam berkarya tentunya seseorang harus berbekal pengetahuan dan ketrampilan yang memadai.

Sraweyan merupakan symbol keluwesan. Dalam lehidupan hendaknya menjaga keselarasan terhadap sesame, masyarakat dan lingkungan, dan dapat beradaptasi dengan kebiasaan setempat dan menghargai pendapat serta sikap orang lain.

Pijetan/blumbangan, merupakan symbol keikhlasan hati dan kesabaran. Hidup dan bekerja harus dilandasi dengan hati yangsenang, mencintai akan pekerjaannta dan ikhtiar serta tawakal. Tidak ada yang disebut takdir sebelum diawali dengan ikhtiar.

Jalak Sangu Tumpeng Merupakan Ajaran Hidup Dalam Mencari Nafkah

Dapur Jalak Sangu Tumpeng secara keseluruhan sebagaimana ditunjukan dalam simbolisasi Jalak, Tumpeng, bentuk keris lurus dan ricikan bilah merupakan ajaran hidup dalam mencari nafkah. Jalak merupakan symbol atau gambaran seseorang yang berkewajiban mencari nafkah – dan tentunya untuk keperluan tersebut dia perlu mempersiapkan diri baik mental maupun spiritual. Sesorang dalam mencari nafkah dan menjalani hidup diharapkan lebih mengutamakan perbuatan yang baik (dadya laku utama) selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhan dan hubungan dengan keluarga, masyarakat serta lingungannya (eling lan waspada). Dalam mencari nafkah hendaknya berlaku jujur dan tidak merugikan orang lain, Mencari nafkah memang tidak mudah, namun jika diberi kemudahan hendaknya selalu juga waspada. Sebab uang sebanyak apapun jika tidak halal sumbernya jangan diambil. Lebih baik uang sedikit namun halal dan sah. Sebagaimana diajarkan dalam tembang dandanggula serat sana sunu (Yasadipura II):
“..yang suksma, angupaya sandang pangan teka gampil, yen gampang den waspada. Sangkaning arta yen tanprayogi, haywa arsa sanajan akathah, yen during sah hywa pinet, sathitik yen panuju, den pakolih amburu kasil, liring pakolih ingkang, sah tentrem ing kukum….”

Hal-hal yang tersirat dalam dapur Jalak Sangu Tumpeng merupakan pandangan dan pegangan hidup untuk mencapai sukses dalam bekerja dan berusaha. Sehingga, nilai-nilai yang terkandung dalam dapur ini, menjadikannya sebagai symbol pusaka dalam mencari nafkah. Sesorang yang menyimpan keris dapur ini, seolah menyimpan nilai-nilai ajaran yang dapat digunakan sebagai pandangan hidup.

Selasa, 14 Oktober 2008

PHILOSOFI KERIS DAPUR SEMPANER - SEMPANA BENER

DAPUR SEMPANER
(Disadur dari Artikel Majalah Pamor Edisi 07 – Tulisan Wawan Wilwatikta)

Dapur Sempaner (Sempanan Bener) merupakan nama salah satu dapur keris lurus yang sering kita jumpai mulai dari tangguh sepuh seperti Pajajaran, Majapahit, sampai tangguh Nom-noman. Sempaner berasal dari kata Sempana / Sumpena Bener yang secara harafiah berarti Mimpi yang benar. Ricikan dapur ini : Kembang kacang, tikel alis, Ri Pandan – ada pula yang menyebutkan mempunyai greneng, jalen, lambe gajah. Sempana bener dalam arti lebih dalam merupakan suatu pesan, angan-angan, harapan, cita-cita, keinginan apabila dilandasi suatu pemahaman yang benar menjadi suatu kenyataan. Pemahaman yang benar itulah yang akan mewujudkan suatu tercapainya harapan atau cita-cita. Dalam hal ini, suatu pesan bahwa manusia dalam menggapai suatu keinginan hendaknya diselaraskan dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki, sebagaimana dalam ujar-ujar jawa disebutkan “Bisa rumangsa – aja rumangsa bisa”.

Macam-macam Mimpi
Mimpi atau sumpena merupakan suatu penggembaraan bawah sadar manusia selama tidur ke tempat antah berantah atau berinteraksi dengan lingkungan, baik yang sudah dikenal maupun belum. Mimpi tertentu dipercaya sebagai perlambang akan terjadinya “sesuatu” dimasa yang akan datang atau sering disebut “sasmita”. Namun tidak semua mimpi merupakan perlambang. Dalam budaya jawa, orang bermimpi dibedakan dalam tiga macam :
- Titiyoni
- Gondoyoni
- Puspa Tajem

Tiyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 19.00-22.00. Mimpi pada saat ini biasanya merupakan gambaran dari pikiran yang tidak mampu ditinggalkan oleh seseorang pada saat menjelang tidur, seperti rasa gelisah, stress, kalut, cemas, dan lelah akibat aktivitas seharian. Mimpi ini penggambaran kejadiannya berubah-ubah, kadang terjadi secara tiba-tiba dan tidak runtut. Pada saat terbangun, biasanya kita lupa mengenai hal-hal yang terjadi dalam mimpi tersebut. Mimpi pada saat tiyoni tidak mempunyai makna.

Gondoyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 22.00-01.00 pagi. Mimpi pada saat Gondoyoni juga tidak mempunyai makna. Biasanya muncul dari bayangan, pemikiran atau angan-anagan saat terjaga atau sebelum tidur. Mimpi demikian disebut juga “impen-impenen” atau “kembange wong turu” atau “bunga tidur”. Biasanya mimpi pada saat itu tidak runtut berurutan dan mudah terlupakan saat bangun.

Puspa Tajem merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 01-04.00 pagi atau menjelang subuh. Waktu tersebut memasuki dua per tiga malam merupakan waktu yang utama. Mimpi pada saat ini umumnya mempunyai makna atau kemungkinan merupakan perlambang/firasat mengenai suatu kejadian (sasmita) yang akan menjadi kenyataan. Apabila perlambang dalam mimpi ini kemudian benar-benar terjadi dimasa yang akan datang, maka disebut mimpi yang Daradasih. Kejadian dalam mimpi tersebut seolah-olah terjadi sungguhan dan kejadiannya runtut berurutan. Bahkan, kadang membuat kita terbangun jika terkejut. Kejadian dalam mimpi ini masih melekat dalam ingatan pada saat terbangun dan selalu diingat dalam waktu yang lama.

Bagaimana mimpi yang mempunyai makna ini akan terwujud, kapan dan bagaimana, tentunya masih menjadi misteri. Kadang kita baru menyadari arti mimpi tersebut setelah terjadi suatu peristiwa di kemudian hari. Bagi orang yang mampu mengartikan mimpi tersebut dan benar-benar terjadi di waktu yang akan datang maka disebut “orang yang waskita”.

Simbolisasi Ricikan Dapur Sempaner : Sekar Kacang, Tikel Alis, Jalen, Lambe Gajah dan Greneng

Kembang Kacang, jaman dahulu kembang kacang sebagai ricikan keris disebut juga tlale (belalai) Gajah. Hal tersebut teringat dengan mitologi Ganesha, sebagai dewa lambang ilmu pengetahuan yang digambarkan selalu menghirup ilmu pengetahuan yang tiada habisnya dengan belalainya. Sekar kacang juga menyimbolkan adanya aktifitas tumbuh dan berkembang dan berbuah.

Jalen merupakan simbol jalannya nafas yang terus menerus dan lambe gajah merupakan simbol masuknya energi. Motivasi dan niat.

Tikel Alis, mempunyai arti ua alis (bulu mata) menunjukkan kedua mata. Tikel alis merupakan simbol sifat manusia ada sisi baik dan buruk, keduanya harus dapat dikendalikan. Dalam menggapai harapan hendaknya dipertimbangkan pada sisi baik buruknya.

Greneng berbentuk Ron Dha (Huruf jawa : Dha) atau kadang hanya berbentuk sederhana yang disebut Ri Pandan menyimbolkan suasana hati atau perasaan. Dari semua organ tubuh manusia yang menentukan tingkat derajat manusia yaitu dada (dha-dha). Dalam rongga dada itulah terletak hati, bathin, atau “perasaan” atau disebut “rasa”. Kalau “rasa” seseorang baik maka baiklah semua anggota tubuhnya, sebaliknya kalau “rasa” menjadi sakit maka “sakit”lah semua anggota tubuhnya. Rasa berarti merasakan sesuatu itu dalam segala dimensi. Rasa merupakan suatu keadaan yang hendak dicapai dalam diri seseorang terhadap sesuatu. Setiap orang memiliki rasa rasa dengan eksistensi yang berbeda-beda, tergantung pada wawasan, pengetahuan, moral dan sebagainya. Siapa yang mencapai rasa yang lebih mendalam dengan sendirinya hidupnya akan berubah (sikap pola pikir, perilaku). Ia akan memiliki sikap-sikap lain, yang lebih benar, serta yang lebih cocok dengan realitas sebenarnya.

Secara umum semuanya itu adalah melambangkan suatu pencarian dan mengembangkan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan secara terus-menerus sampai tingkat tertentu. Hal tersebut merupakan syarat tercapainya cita-cita dan harapan. Mencari pengetahuan harus dilandasi dengan niat, motivasi yang kuat dan keberanian. Harapan dan cita-cita harus dipertimbangan dari sisi baik dan buruknya. Namun demikian orang harus menerima segala keterbatasannya. Orang perlu bersikap rela menerima keadaan apa adanya (Nrimo ing pandum). Nrima juga berarti iklas, menerima segala konsekuensi dan persoalan apa yang mendatangi kita tanpa keluh kesah. Hal ini bukan berarti apatis, nrima dalam arti seseorangwalaupun dalam keadaan kecewa, kesulitan dan kegagalan, tetap harus beraksi secara rasional, tidak ambruk dan tidak menentang secara percuma. Nrima menuntut untuk menerima apa adanya, tapi tidak hancur karenanya. Sikap nrima memberikan daya tahan untuk menanggung keadaan nasib” yang buruk. Bagi orang yang memiliki sikap itu maka “malapetaka akan kehilangan sengsaranya”.

Dapur Lurus : Bener-Lurus
Dalam berdoa kita selalu memohon untuk diberikan “Jalan yang Lurus” (sirotol mustaqin) kepada Tuhan. Lurus berarti tidak menyimpang dari jalur yang ditetapkan. Lurus juga berarti tidak berlebihan juga tidak kekurangan, berada di tengah-tengah. Seseorang yang jika di dalam hidupnya mengusahakan selalu berada di jalur lurus berarti akan bertindak jujur dan luhur budinya.
Berlaku jujur, bener lan pener akan menuju batin manusia yang selaras dengan realitas yang sebenarnya, dan oleh karena itu dengan sendirinya (Otomatis-konsekuen) memenuhi kewajiban, tugas dan peranan dan jabatan yang dituntut dari padanya. Mengembangkan diri pribadi, pengetahuan sesuai dengan bakat dan kemampuan (empan papan) dan tidak memaksakan kehendak / mengendalikan hawa nafsu. Selain itu, pengembangan pribadi dengan pengekangan hawa nafsu adalah salah satu cara. Karena nafsu akan memperlemah manusia. Mengendalikan hawa nafsu berarti mengembangkan budi pekerti. Untuk pencapaian budi pekerti (etika) yang baik umumnya dihalangi dua hal yaitu hawa nafsu dan pamrih.
Nafsu yang terkait dengan pamrih (egoisme) antara lain :
- Nafsu selalu ingin menonjol (nepsu menange dhewe)
- Menganggap diri selalu betul (nepsu benere dhewe)
- Memperhatikan diri sendiri (nepsu butuhe dhewe)

Sikap dasar yang luhur adalah kebebasan tanpa pamrih. Ujar-ujar jawa mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sepi ing pamrih berarti melepaskan diri diri dari kepentingan pribadi dan mengutamakan kepentingan masyarakat demi keselarasan kehidupan. Manusia mencapai “sepi ing pamrih” apabila ia semakin tidak lagi perlu gelisah dan prihatin terhadap diri sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki serta mempunyai hati yang tenang.
Rame ing gawe berarti melakukan apa yang dituntut oleh jabatandan kedudukan kita dalam masyarakat atau pun pekerjaan. Masing-masing menjalankan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang diemban. Setiap orang harus menyadari keterbatasannya, sehingga tumbuh kerelaan untuk membatasi diri pada peran yang telah ditentukan di dunia.
Dalam hidup ini hendaknya dipahami benar ajaran Catur Merti – bersatunya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan :
- Pikiran yang benar
- Perasaan yang benar
- Perkataan yang benar
- Perbuatan yang benar

Harapan yang Menjadi Kenyataan – Sumpena yang Daradasih – Sumpena Bener – Sempaner

Mimpi yang benar adalah hanya mimpi yang menjadi kenyataan (puspatajem daradasih). Harapan dan cita-cita yang baik yaitu harapan yang dapat diwujudkan sebagai kenyataan. Hal tersebut tentunya suatu harapan yang luhur (bener). Sempana Bener (sempaner) memaparkan ajaran bagaimana seseorang dapat menggapai harapannya secara benar. Dalam menggapai harapan hendaknya dilandasi dengan laku yang lurus dan benar, khususnya dalam hal etika sehingga akan tumbuh budi luhurnya. Budi luhur dicapai dengan sikap sederhana (prasaja), bersedia untuk menganggap dirinya lebih rendah dibanding orang lain (andhap asor), selalu sadar akan batas-batas dalam situasi dan lingkungan (tepa selira). Sebaliknya menghindarkan diri dari sikap yang jauh dari sifat budi luhur, yaitu : mencampuri urusan orang lain (dahwen/open), iri-dengki (srei), suka main intrik (jail), dan bersikap kasar (methakil).

Dari kedalaman rasa, pengetahuan, kemampuan seperti diuraikan di atas semua tercakup, maka tergantung apakah manusia sanggup untuk menempatkan diri dalam kosmosnya, serta dapat menemukan tempatnya yang cocok dan selaras. Menurut Aristoteles, manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan apabila ia dapat mengaktualkan bakat-bakatnya. Untuk mewujudkan suatu harapan harus disertai dengan usaha dan kemampuan yang sesuai. Harapan tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa disertai dengan usaha dan memampuan yang menyertainya. Keinginan harus disesuaikan dengan kapasitas pribadi, bakat, pengetahuan, menepati janji, jujur dan melakukan sesuai kewajiban. Sepi ing pamrih rame ing gawe.