Rabu, 03 Desember 2008

BUDAYA KERIS KIAN TERPINGGIRKAN

Budaya Keris Kian Terpinggirkan ?
(Tulisan ini disadur dari Milis Forum Diskusi Keris (FDK – yang ditulis oleh Moderatornya M. Hidayat)


Salam sejahtera,
Rasanya tulisan semacam ini sudah sering kita baca, bahkan juga pasti sudah kerapkali kita pikirkan dan diskusikan. Tetapi rasanya memang perlu untuk terus dikedepankan agar budaya keris di Tanah Air tidak kian terkikis dan terpinggirkan.

Realitas Sosial-Budaya Masyarakat terkait dengan Keris.

Acapkali kita melihat pada tayangan TV dimana seorang pendekar menggunakan sebilah keris sebagai senjata yang bisa mengeluarkan sinar dan seolah memiliki energi kuat sehingga mampu membunuh musuh dari jarak jauh dengan pancaran sinarnya. Juga sering ditayangkan seorang dukun memegang keris yang seolah-olah keris tersebut bisa bergetar dan mengeluarkan asap. Juga keris yang diberi sesaji bunga dan jampi-jampi sehingga seakan bisa dimintai pertolongan karena memiliki kekuatan magis. Dan jika kita teliti lebih detail lagi, keris-keris yang digunakan di sineotron TV kurang sesuai dengan jamannya. Katakanlah misalnya cerita di era Majapahit atau Mataram Sultan Agung, keris yang digunakan sudah memakai wrangka Ladrang Solo yang baru dikreasi oleh Pangeran Mangkubumi (?) pasca perjanjian Giyanti (Maret 1755). Walau memang tidak secara khusus mengulas tentang keris, tetapi akan lebih baik jika pengarah busana dan perlengkapan acara juga sedikit belajar sedikit tentang keris, atau minimal menanyakan kepada seseorang yang paham. Dengan begitu, setting cerita dan bentuk senjata serta perabotan yang digunakanpun akan saling mendukung. Ini juga kerap kita temui pada acara resepsi perkawinan, dimana pakaian yang digunakan adalah Jawa Timuran atau Jogjakarta, misalnya, tetapi keris yang di-sengkelit menggunakan wrangka Ladrang Solo.

Dalam berbagai cerita legendaris, kita juga kerap mendengar keris mPu Gandring, Keris Kala Munyeng, Keris Naga Sasra, dsb.. dimana Keris sebagai Pusaka dilegendakan secara lebih dramastis. Lalu diperparah lagi oleh kondisi di pasar perkerisan dimana muncul beragam bentuk keris yang diyakini sebagai keris mPu Gandring, Keris Kala Munyeng, bahkan paling sering keris Naga Sasra, yang walau buatan baru kualitas kodian dengan tatahan kasar, tetapi si penjual (yang entah paham atau tidak, atau pura-pura tidak paham keris), menawarkan keris tersebut sebagai keris tua tangguh Purwacarita, Singosari, Majapahait yang dulunya pernah dimiliki oleh seorang pengageng kraton dengan mas kawin (harga) yang sangat fantastis puluhan sampai ratusan juta dan bisa bikin kepala pening.

Bahkan beberapa penjual sering nekat dengan menawarkan keris buatan baru baik Bethok maupun Naga Sasra kualitas kodian yang dikamal secara mengenaskan, dan dikatakan memiliki tuah yang sangat bagus untuk kepangkatan, derajad, kerejekian, dsb…. Memang kalau dipikir, akan lebih mudah menjual keris baru yang kurang garap dan dikamal sampai terkesan tua, membalutnya dengan kain putih dengan taburan bunga dan minyak tanpa repot-repot nyandangi dengan wrangka dan perabot yang sekarang sudah kian mahal, juga tanpa harus ribet belajar memahami budaya keris lebih dalam. Yang penting adalah bisa memperoleh sejumlah nilai rupiah dari menawarkan keris dengan harga mahal karena dikatakan dan diyakini memiliki yoni atau tuah yang kuat/hebat. Dan lebih ironis lagi, si pembeli karena kurang paham, akhirnya terbujuk membeli keris baru yang dituakan atau bahkan sampai membeli keris yang dikatakan bertuah dengan harga ratusan juta rupiah, padahal senyatanya adalah keris buatan baru yang dikamal.

Lebih jauh lagi, dari berbagai cerita mistis baik di radio ataupun media cetak lainnya, keris seolah telah menjadi benda yang memiliki daya magis dan layak ditakuti karena tidak setiap orang akan kuat menyimpannya. Bisa jadi tuah keris sangat tidak bagus bagi kelangsungan hidup seseorang. Tetapi sebaliknya, juga ada cerita tentang orang yang baru membeli keris lantas jadi cepat kaya karena usahanya terbantu dari keris tersebut, memiliki daya kebal, bisa meningkatkan daya pikir, dsb….. dll…..

Sedangkan yang terkait dengan produksi keris baru yang dilakukan oleh para pengerajin keris, saat ini kondisinya juga kian memperihatinkan. Sebut saja para pengerajin keris di Banyu Sumurup – Jogja. Para pengerajin di sana kian merasakan himpitan ekonomi, apalagi selepas musibah gempa bumi. Satu sisi bahan baku keris seperti besi, nikel, timah, arang dll harganya sudah naik, di sisi yang lain para pemesan keris baru makin menurun. Akhirnya mau tidak mau para pengerajin harus bersedia mengurangi profit mereka demi mengejar pesanan walau jika di hitung, ternyata hasil kerja mereka sangat jauh di bawah standar upah minimum. Kondisi ini juga di alami oleh para pengerajin di Aeng Tong-Tong Sumenep Madura. Ditengah kebutuhan hidup masyarakat meningkat, sementara kondisi ekonomi kian sulit, maka para pengerajin harus bisa menyiasati hidup agar tetap bisa eksis ditengah keterpurukan pesanan keris baru. Padahal bisa dikata, Aeng Tong-Tong merupakan satu-satunya tempat produksi Kodogan dan keris baru terbesar di Indonesia. Kodogan Aeng Tong-Tong banyak dipesan oleh para pengerajin keris dari Solo dan Jogja. Dan kalau kondisi yang memperihatinkan ini terus berlanjut, maka masyarakat setempat bisa jadi akan kembali menerjuni usaha pertanian dan perkebunan yang dulu mereka tinggalkan karena keris sudah tidak menjanjikan lagi sebagai sandaran hidup.

Realitas kondisi sosial-budaya masyarakat kita terkait dengan keris tersebut apakah bisa dikatakan sebagai kondisi yang bagus bagi perkembangan budaya keris di masa depan, ataukah malah ironi yang nantinya akan semakin meminggirkan budaya keris di tanah air ? Bagi kita yang berfikir dan paham, tentu paparan tersebut menunjukkan bahwa sebenarnya keris telah menjadi fenomena budaya yang banyak dipelesetkan jauh dari nilai-nilai budaya yang tersimpan pada keris itu sendiri untuk kepentingan pribadi sesaat yang tanpa memikirkan keberlangsungan dan kelestarian budaya keris itu sendiri. Ironis bukan ?

Memaknai Keris sebagai Benda Budaya.

Keris, adalah karya seni hasil dari sebuah peradaban masyarakat pada masa lalu yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan serta ditumbuh-kembangkan. Karena itu, membicarakan Keris tidak akan bisa lepas dari budaya masyarakat dimana keris tersebut dibuat serta sejarah masa lalu yang melingkupinya. Untuk memahami dan menikmati hasil karya dari seorang mPu Keris, kita tidak hanya melihat bahan besi dan kualitas penempaan, material pamor yang digunakan dan penerapannya, serta bukan pula pada pasikutan sebilah keris semata. Lebih jauh dari itu, untuk menikmati keindahan sebilah keris, kita perlu sejenak kembali ke masa lalu. Membayangkan kondisi budaya masyarakat setempat waktu itu, tingkatan teknologi yang dimiliki, pola pikir serta simbol-simbol (sanepa & sengkala) dengan berbagai makna yang dianut masyarakat waktu itu serta berbagai aspek lain yang terkait dengan sebuah budaya. Alhasil, dengan memahami prosesi pembabaran keris, bentuk keris itu sendiri sampai pada budaya masyarakat masa lalu secara menyeluruh, maka kita akan bisa memahami dan menikmati keindahan keris sebagai sebuah maha karya agung dari sebuah proses budaya yang bisa menjadi filosofi hidup sarat makna.

Dalam perkembangan budaya, tentu akan selalu ada evolusi, baik akibat akulturasi budaya maupun inovasi dari masyarakat yang hidup pada masa itu. Demikian pula dengan keris. Perkembangan budaya keris lebih banyak dilihat dari bentuk bilah dari yang kurang garap ke yang lebih garap. Ini karena seorang mPu jaman dulu sampai sekarang adalah seorang seniman yang sangat paham dengan estetika dan keindahan seni. Dari yang sangat sederhana menjadi yang memiliki ricikan lengkap. Misalnya pada jaman kerajaan Hindu awal, keris memiliki bentuk yang sederhana dan cenderung berfungsi sebagai senjata tikam. Ini bisa dilihat pada beberapa relief candi. Di sana terpahat bentuk keris yang dipegang sebagai layaknya senjata tikam. Bentuknya seperti belati yang merupakan prototipe keris Bethok serta ada pula bentuk keris Sepang tetapi lebih pendek. Dan karena itu, tidaklah salah jika keris juga dikatakan sebagai senjata.

Tetapi dalam perkembangan era berikutnya, pada jaman Kediri, Singosari, Majapahit sampai sekarang, keris sudah mulai berkembang baik bentuk maupun fungsinya. Dari bentuk yang sederhana seperti Bethok dan Brojol menjadi keris berlekuk (Luk). Juga dari senjata tikam menjadi simbol kehidupan bermasyarakat dan bernegara, juga sebagai pusaka atau piyandel. Perkembangan dan perubahan ini tentunya memiliki maksud tertentu. Ini sejalan dengan budaya masyarakat masa lalu, dimana segala sesuatu yang ada dalam kehidupan ini acapkali dilambangkan dalam sebuah perumpamaan (sanepa) dan perlambang (sengkala) yang memiliki makna filosofi hidup secara mendalam.

Keris sebagai simbol budaya khususnya masyarakat Jawa jaman dulu ditunjukkan dari makna dapur maupun pamor. Seperti misalnya keris dapur Condong Campur yang melambangkan kondisi sosial, politik dan budaya masyarakat Majapahit jaman dulu dimana kondisi masyarakat sudah sangat heterogen, perpecahan antar golongan mulai muncul yang kemudian ingin atau diarahkan (Condong) agar bisa disatukan (Campur). Kondisi ini dilambangkan dalam bentuk keris Kanjeng Kyai Condong Campur. Lain halnya dengan Keris Kala Munyeng. Penyebutan Kala Munyeng berawal dari Kalam Munyeng yang artinya kurang lebih perkataan atau kalimat yang disampaikan secara lisan (Kalam) yang bisa menyebabkan orang lain bingung (Munyeng). Kanjeng Sunan Giri dilegendakan memiliki keris yang bisa terbang sendiri dan berputar-putar membunuh musuh (pasukan Majapahit). Sesungguhnya makna dari keris Kala Munyeng adalah perkataan Kanjeng Sunan Giri yang menyebabkan pasukan Majapahit bingung apakah akan meneruskan menyerang Giri ataukah kembali ke Majapahit. Kondisi kebingungan ini menyebabkan pasukan Majapahit terpecah menjadi 2 (dua) kelompok dan saling berbunuhan tanpa turun tangan langsung dari pasukan Giri Gresik.

Keris, meminjam uraian Sugeng SW, juga merupakan lambang “senjata hidup”. Senjata orang hidup adalah akal dan pikiran untuk selalu menyempurnakan diri dengan visi yang tajam seperti tajamnya bilah keris. Artinya bahwa ketajaman keris menunjukkan kecerdasan, kecermatan dan keperwiraan manusia yang sudah “dewasa”. Dengan memahami keris seperti itu, maka keris telah kita posisikan sebagai sebuah filosofi hidup yang sarat makna dan merupakan simbol jati diri bangsa yang patut untuk terus dikaji, dilestarikan serta diimplementasikan dalam kehidupan nyata.

Dengan melihat kondisi yang memperihatinkan dalam masyarakat kita saat ini terkait dengan pemahamannya terhadap keris, serta pemahaman kita atas makna besar yang melekat pada keris sebagai benda budaya, maka sudah sewajarnya kita terpanggil untuk senantiasa mengabarkan kebenaran dan memberikan pencerahan kepada masyarakat sekeliling kita yang kurang paham terhadap keris. Selalu berupaya untuk melestarikan dan mengembangkan budaya keris melalui kerjasama dengan para pengerajin keris, sampai pada sharing koleksi agar bisa dinikmati oleh umum karena sesungguhnya keris adalah referensi budaya. Dan bukan sebaliknya, malah menghancurkan budaya keris dengan berbagai cara demi keuntungan materiil sesaat atau keinginan agar mendapat pengakuan khalayak ramai bahwa keris yang dikoleksi memiliki tuah yang sakti atau asalan yang lain yang akhirnya bisa meminggirkan budaya keris dari kehidupan masyarakat kita.

Mohon maaf jika ada kesalahan berkalimat serta dipandang bisa mendistorsi upaya dan keinginan untuk menawarkan keris baru yang dituakan dan dikatakan sebagai keris tua ber-tuah. Lebih jauh, segala sesuatu yang ada pada tulisan ini sebenarnya bukan Untuk Kita Renungkan (meminjam judul lagu Ebiet GAde), tetapi untuk kita implementasikan melalui interaksi kita dalam hidup bermasyarakat terkait dengan pengembangan budaya Keris.

Salaam,

Hidayat

Tidak ada komentar: