Minggu, 30 November 2008

REFLEKSI KERIS DAPUR JANGKUNG

REFLEKSI : DAPUR JANGKUNG.
Disadur Majalah PAMOR Edisi 04 - Tulisan MM Hidayat

KERIS JANGKUNG, dalam buku Keris Jawa ; Antara Mistik Dan Nalar dikatakan memiliki makna Perlindungan dan Pengayoman. Makna lain, dengan meminjam istilah Sugeng SW (KR-Jogja), Keris berlekuk tiga atau Jangkung memiliki makna bahwa manusia diharapkan Jinangkung Jinampangan dari Tuhan YMK. Dengan demikian, keris berlekuk tiga ini menggambarkan harapan agar keinginan manusia bisa tercapai. Orang Jawa menamakannya Jangkung, keinginannya agar senantiasa dijangkung, dipenuhi Yang Maha Kuasa. Tetapi manusia juga harus memberikan perlindungan.

Konon, pada awal pemerintahannya, Sultan Agung Hanyokrokusumo beberapa kali memesan keris dapur Jangkung, dengan harapan dan keinginan untuk menunjukkan tekadnya dalam memberikan pengayoman dan perlindungan kepada warga masyarakat Mataram masa itu. Juga pernah tercatat pada tahun 1984 dan 1985 Sri Sultan Hamengku Buwono IX pernah memesan dua bilah keris, salah satunya dapur Jangkung Mengku Negoro kepada mPu Djeno Harumbrojo. Tetapi sayangnya beliau keburu wafat sebelum keris selesai dibuat.

Dalam hal ini, Keris Luk 3 Dapur Jangkung bisa kita jadikan sebagai pengingat atas tugas kita (manusia) sebagai Pemimpin (Khalifah) di dunia. Dengan demikian, tugas untuk memberikan pengayoman dan perlindungan kepada seluruh makhluk Tuhan YME berada pada pundak manusia sebagai pemimpin di dunia.

Tetapi yang kerap muncul adalah bahwa manusia terlalu mendominasi atas segala kehidupan alam semesta, terutama di bumi. Seakan manusia ini adalah pelaku utama yang berdiri sendiri. Fokus utama perhatian khalayak hanya ada pada diri dan kebutuhan manusia itu sendiri tanpa mempertimbangkan bahwa dunia dan alam semesta ini sesungguhnya adalah sebuah jalinan kehidupan antar makhluk yang saling terkait dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Disini menunjukkan bahwa fungsi Manusia sebagai Pengayom atau Pelindung telah bergeser menjadi Fungsi sebagai Penguasa. Fungsi dari Pengaturan berubah menjadi Pemilik.

Kita sesungguhnya telah paham bahwa Tanah, Air, Udara, Tumbuhan dan Hewan Serta segala yang ada di alam raya ini merupakan Makhluk Tuhan. Tetapi karena adanya pergeseran fungsi Manusia dari Pengayom menjadi Penguasa, menyebabkan segala yang ada di alam ini hanya digunakan sebagai pemuas kebutuhan nafsu manusia belaka tanpa mempertimbangkan keseimbangan dan keberlangsungan hidup makhluk yang lain.

Maka tak ayal lagi, yang terjadi adalah ketimpangan kehidupan alam semesta dimana manusia telah mendominasi atas alam semesta. Dan karena tidak mampu menjaga keseimbangan hidup alam semesta, maka yang terjadi adalah munculnya berbagai bencana, dari mulai banjir, tanah longsor, gempa, lumpur panas yang meluap, sampai pada kerusuhan sosial dan politik.


Jadi marilah kita bersama-sama terus mengabarkan dan berjuang untuk kebaikan, demi terjaganya keseimbangan alam. Ini merupakan fungsi kita (manusia) sebagai Pengayom dan Penjaga bagi kehidupan di dunia, bukan merasa sebagai Pemilik. Karena sesungguhnya semua yang ada di Alam Raya ini adalah milik dan menjadi Kekuasaan Tuhan YMK.

Dan memang, disinilah salah satu manfaat Keris sebagai Pusaka atau Piyandel. Yaitu sebagai salah satu Filosofi Hidup, dimana kita bisa belajar banyak dari pengalaman masa lalu, walaupun kita tidak hidup dimasa lalu.

Tentu rekan-rekan lain ada yang memiliki pengetahuan atau pengalaman dan ingin menambahkan mengenai Refleksi ini, tentu akan senang sekali bisa berbagai.

Salaam,
Hidayat.

MEMBACA ULANG TRADISI KERIS JOGJAKARTA

MEMBACA ULANG TRADISI KERIS JOGJAKARTA
Disadur dari Majalah PAMOR Edisi 9 – tulisan A. Ardiasto SH (Pegiat Lingkar Kajian Keris Yogyakarta)

40 tahun pergolakan membuat raja Muda membutuhkan legitimasi. Dikumpulkannya pusaka-pusaka kraton yang tersebar …dititahkannya Mpu Kraton untuk menduplikasi beberapa pusaka... Mas Menol marak menjadi Sultan Hamengkubuwana V dalam usia muda, dibalik bayang-bayang NdoroTuan Meneer dan ilusi keagungan masa lalu
Tradisi dan budaya keris di Jogjakarta memiliki sejarah yang menarik untuk dikaji. Budaya keris di Jogjakarta, belumlah setua peradaban sebelumnya, walaupun Ngayogjakarta Hadiningrat termasuk satu dari sekian kerajaaan pecahan Mataram, namun Jogjakarta tetap memiliki keunikan dan kekhasan budaya yang berbeda dengan pecahan Mataram yang lain, termasuk dalam budaya perkerisan.

Bila saat ini di kalangan insan perkerisan menggolongkan tangguh /perkiraan /langgam /gaya dari sebuah keris yang keluar dari kerajaan-kerajaan muda pecahan Mataram sehagai tangguh Nom (muda), hal ini tidak terlepas dari periodisasi sejarah Jawa 'moderen' di bawah Surakarta dan Jogjakarta. Keris yang keluar dari dua kerajaan ini tidak bias dikatakan mewakili tangguh Mataram, karena memiliki sifat, karakter dan bahan yang berbeda dari keris-keris Mataram, walaupun secara umum masih merupakan kelanjutan dari tradisi Mataram.

Periodisasi sejarah Mataram berawal dari maraknya panembahan Senapati menjadi Raja pada tahun 1575 Masehi, hingga kemudian 1755 Masehi dengan terpecahnva Mataram menjadi Surakarta dan Jogjakarta lewat perjanjian Giyanti. Kurang lebih 180 tahun Mataram bertahan dan mencapai kejayaannya pada masa pemerintahan Sultan Agung. Pasca Giyanti nyaris 4 kerajaan pecahan Mataram (Surakarta, Jogjakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman) tidak memiliki kedaulatan penuh baik dalam bidang politik, sosial maupun budava. Masuknva pengaruh Eropa ke dalam Kraton membuat Kraton terlihat kehilangan identitas Jawanya. Dominasi Eropa yang kuat ikut menyumbangkan bibit-bibit perlawanan di kalangan bangsawan Kraton yang kritis. Puritanisme Jawa-Mataram perlahan-lahan terkikis oleh arus pem'barat'an yang dibawa oleh kolonialisme Eropa. Jogjakarta pun ikut menjadi korban pem'barat'an ini.

Sebagai bagian dari pecahan Mataram, Kasultanan Yogyakarta hanya sesaat menikmati masa damai vang pendek. Setelah Pangeran Mangkubumi memproklamirkan diri sebagai raja pertama Ngayogyakarta Hadiningrat pada tanggal 13 Pebruari 1755, dia segera memusatkan perhatiannya pada pembangunan kraton yang baru. Kurang lebih 30 tahun masa damai yang pendek itu berjalan sebelum pergolakan demi pergolakan memanaskan kerajaan yang baru berdiri itu. Pergolakan vang tidak ada hentinya mengakibatkan Kasultanan Jogjakarta kehilangan gairah dalam membangun peradaban.

Masa-masa Pergolakan

I. Perang Yogyakarta vs Surakarta 1790 Masehi
Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan Hamengkubuwana I meskipun telah berjanji damai namun tetap saja berusaha ingin. Mengembalikan kerajaan Mataram. warisan Sultan Agung menjadi utuh kembali, tentunva dibawah Kesultanan Jogjakarta. Surakarta Hadiningrat sebagai pesaing terdekatnya saat itu dipimpin oleh Pakubuwana III vang lemah namun mendapat perlindungan Belanda sehingga niat Hamengkubuwana I untuk mengekspansi Surakarta sulit diwujudkan.
Pada tahun 1788 M Pakubuwana IV naik takhta, menggantikan ayahnya. la merupakan raja yang jauhlebih cakap daripada ayahnva. Cita-citanva merupakan kebalikan seperti cita-cita Hamengkubuwana I, yaitu ingin menjadikan Surakarta sebagai penguasa Jawa, mengembalikan kejayaan Mataram Sultan Agung, dibawah Kasunanan Surakarta. Pihak VOC sendiri juga resah menghadapi raja baru tersebut. Pakubuwana IV adalah raja Surakarta vang penuh cita-cita dari keberanian, berbeda dengan avahnya vang terkenal lemah dan kurang cakap. Keadaan Surakarta semakin tegang. Para pejabat yang tersisih berusaha mengajak VOC untuk menghadapi Raja. Pakubuwana IV sendiri sangat membenci VOC. Akhirnya VOC pun bersekutu dengan Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I untuk menghadapi Pakubuwana IV. Pada bulan November 1790 M Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I (Raja Pertama Mangkunegaran) kembali bekerja sama untuk pertama kalinva sejak zaman pemberontakan pra Giyanti. Mereka bersama VOC bergerak mengepung Pakubuwana IV di Surakarta. Pakubuwana IV akhirnya menyerah kalah.
Ini adalah kerja sama paman-keponakan antara Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I. Peristiwa ini disebut 'Pakepung'. Hamengkubuwana I mendesak VOC supava putranya dijadikan raja Surakarta namun ditolak. Pakubuwana IV tetap diizinkan menjadi raja dengan menandatangani perjanjian kesepakatan bahwa Yogyakarta dan Surakarta adalah sederajat dan dilarang untuk saling menaklukkan. Atas prakarsa VOC, maka Pakubuwana IV, Hamengkubuwana I dan Mangkunegara I bersama menandatangani perjanjian yang menegaskan bahwa kedaulatan Surakarta, Yogvakarta, dan Mangkunegaran adalah setara dan mereka dilarang untuk saling menaklukkan. Meski demikian, Pakubuwana IV tetap saja menyimpan ambisi untuk mengembalikan Mataram-Yogyakarta dalam pangkuan Surakarta.
Sejak tahun 1800 tidak ada lagi VOC karena dibubarkan pemerintah negeri Belanda. Sebagai gantinya, dibentuk pemerintahan Hindia Belanda yang juga dipimpin seorang Gubernur Jenderal. Herman Daendels sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda sejak 1808 menerapkan aturan yang semakin merendahkan kedaulatan istana. Dalam hal ini Pakubuwana IV seolah-olah menerima kebijakan itu karena ia berharap Belanda mau membantunya merebut Yogyakarta.
Pakubuwana IV juga pandai bersandiwara di hadapan Thomas Raffles, wakil pemerintah Inggris yang telah menggeser pemerintahan Hindia Belanda tahun 1811. Sementara itu Hamengkubuwana II sebagai pengganti Hamengkubuwana I, terkesan kurang ramah terhadap bangsa asing. Pakubuwana IV memanfaatkan kesempatan itu. la saling berkirim surat dengan Hamengkubuwana II vang berisi hasutan supava Yogvakarta segera memberontak terhadap penjajahan Inggris. Harapannya, Yogyakarta akan hancur di tangan Inggris. Pihak Inggris lebih dulu mengambil tindakan. Pada bulan Juni 1812 istana Yogyakarta berhasil diduduki dengan bantuan Mangkunegara II. Hamengkubuwana II sendiri ditangkap dan dibuang ke Penang.

II. Pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja
Mas Sundoro naik takhta Yogyakarta sebagai Hamengkubuwana II pada bulan Maret 1792 Masehi. la merupakan raja vang penuh dengan cita-cita. Para pejabat senior vang tidak sesuai dengan kebijakan politiknya segera dipensiunkan dan diganti pejabat baru. Misalnya, Patih Danureja I diganti dengan cucunya, yang bergelar Danureja II. Keputusan ini kelak justru merugikannya, karena Danureja II lebih setia kepada Belanda, ketimbang dengan rajanya.
Hamengkubuwana II sendiri bersikap anti terhadap Belanda. la bahkan mengetahui kalau VOC sedang dalam keadaan bangkrut dan bobrok. Organisasi ini akhirnya dibubarkan oleh pemerintah negeri Belanda akhir tahun 1799. Sejak tahun 1808 yang menjadi gubernur Jenderal Hindia Belanda (pengganti gubernur Jenderal VOC) adalah Herman Daendels vang anti feodalisme. la menerapkan aturan baru tentang sikap yang seharusnva dilakukan raja-raja Jawa terhadap minister (istilah baru untuk residen}. Hamengkubuwana II menolak mentah-mentah peraturan ini karena dianggap merendahkan derajatnya, sedangkan Pakubuwana IV menerima dengan taktik tersembunyi, yaitu harapan bahwa Belanda akan membantu Surakarta menaklukkan Yogyakarta.
Hamengkubuwana II juga bersitegang dengan Patih Danureja II yang dekat dengan Belanda. La memecat Danureja II dan menggantinva dengar Pangeran Natadiningrat putra Pangeran Natakusuma (saudara Hamengkubuwana II). Sebagai bagian dari penjajahan Belanda. Raja sebenarnya tahu kalau Raden Rangga Prawiradirja bakal kalah, namun dia ingin mencoba seberat mana kekuatan pemerintah colonial belanda yang baru. Belanda berhasil menumpas pemberontakan Raden Rangga Prawiradirja dan melimpahkan beban tanggung jawab, misalnya biaya perang, kepada Hamengkubuwana II. Hal ini menvebabkan keributan antara kedua pihak. Pada bulan Desember 1810 Herman Daendels menyerbu Yogyakarta, menurunkan Hamengkubuwana II, dan menggantinva dengan Hamengkubuwana III, menangkap Natakusuma dan Natadiningrat, serta mengembalikan kedudukan Patih DanurejaII.

III. Pemberontakan Sepoy
Pada tahun 1811 pemerintahan Belanda atas Jawa dan Nusantara direbut oleh Inggris. Hal ini dimanfaatkan Hamengkubuwana II untuk kembali menjadi raja, dan menurunkan Hamengkubuwana III sebagai putra mahkota kembali. Sikap Hamengkubuwana II terhadap Inggris sama buruknya dengan terhadap Belanda. Bahkan, ia berani bertengkar dengan Thomas Raffles sewaktu Letnan Gubernur Inggris tersebut mengunjungi Yogyakarta bulan Desember 1811.
Pakubuwana IV di Surakarta pura-pura mendukung Hamengkubuwana II agar berani memerangi Inggris. Surat-menyurat antara kedua raja ini terbongkar oleh Inggris. Maka, pada bulan Juni 1812 pasukan Inggris yang dibantu Mangkunegaran menyerbu Yogyakarta. Hamengkubuwana II dibuang ke pulau Penang, sedangkan Pakubuwana IV dirampas sebagian wilayahnya. Hamengkubuwana III kembali diangkat sebagai raja Yogyakarta. Pangeran Natakusuma yang mendukung Inggris, oleh Thomas Raffles diangkat sebagai Pakualam I dan mendapat wilayah berdaulat bernama Pakualaman.
Setelah peristiwa pendudukan Keraton oleh Balatentara Kompeni Inggris, dan sejak ditandatanganinya perjanjian politik antara Thomas Stamford Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III pada bulan Oktober 1813, kekuatan bersenjata Keraton menurun drastis. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, Kasultanan Yogyakarta tidak lagi dibenarkan memiliki angkatan bersenjata vang kuat. Personil dan sistem persenjataan dibatasi sedemikian rupa, sehingga Keraton tidak mungkin lagi untuk melakukan gerakan militer. Sejak itulah fungsi kekuatan bersenjata Keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga lingkungan Keraton.
Usaha Pakubuwana IV untuk merusak kedaulatan Jogjakarta belum juga jera. Pada tahun 1814 ia bersekutu dengan kaum Sepoy dari India, yaitu tentara yang dibawa Inggris untuk bertugas di Jawa. Divisi Sepoy dipimpin oleh Subadar Dhaugkul Singh, Mata Deen dan Ripaul Singh. Tentara Sepoy ini diajak Pakubuwana IV untuk memberontak terhadap Inggris, serta menaklukkan Yogyakarta yang saat itu dipimpin Hamengkubuwana III. Persekutuan ini kandas tahun 1815. Sebanyak 70 orang Sepoy yang terlibat pem-berontakan diadili pihak Inggris. Sejumlah 17 orang diantaranya dihukum mati, sedangkan sisanya dipulangkan ke India sebagai tawanan. Thomas Raffles juga membuang seorang pangeran Surakarta yang dianggap sebagai penghasut Pakubuwana IV.

IV. Perang Jawa
Konflik yang paling dahsyat dalam sepanjang sejarah Jawa mungkin adalah perang Jawa. Perang Jawa atau Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama menjajah Nusantara. Peperangan ini melibatkan seluruh wilayah Jawa, maka disebutlah perang ini sebagai Perang Jawa.
Perang Jawa (Belanda: De ]ava Oorlog), adalah perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, antara pasukan penjajah Belanda di bawah pimpinan Jenderal De Kock melawan penduduk pribumi vang dipimpin seorang pangeran Yogyakarta bernama Pangeran Diponegoro. Dalam perang ini telah berjatuhan korban yang tidak sedikit. Baik korban harta maupun jiwa. Dokumen-dokumen Belanda yang dikutip para ahli sejarah, disebutkan bahwa sekitar 200.000 jiwa rakyat yang terenggut. Sementara itu di pihak serdadu Belanda, korban tewas berjumlah 8.000.
Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat, kemenakannya. Sultan Hamengku Buwana V yang baru berusia 3 tahun, diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo, seseorang vang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda dan dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat keraton.
Perang Jawa berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Produksi senjata dan mesiu dilakukan di hutan-hutan di sekitar Jogjakarta. Produksi senjata api maupun senjata tajam, mesiu, dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkecamuk.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.
Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan ditangkap. Menyusul kemudian pangeran Mangkubumi dan Panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.

Tradisi Keris Jogjakarta?
Pergolakan yang panjang sepanjang pemerintahan Hamengkubuwono I hingga Hamengkubuwono V, telah memporakporandakan sendi kehidupan budaya di lingkungan Kraton Ngayogjakarta Hadiningrat. Penetrasi budaya asing, Belanda dan Inggris telah membangun suatu akulturasi budaya baru di kalangan Ningrat, Pujangga, Mpu dan segenap insan yang ada di wilayah Jogjakarta. Saat dimana Jogjakarta lahir dengan identitas baru percampuran antara tradisi Jawa-Mataram dan Eropa.
Melihat sedikit paparan diatas tentang periode kekacauan dan pergolakan di Kraton Ngayogjakarta, yang dominan pada saat itu tentunya adalah kaum politisi, prajurit, tentara kolonial, dan tentunya pemberontak. Di saat situasi kacau seperti itu, posisi seniman, pujangga, dan Mpu pembuat keris akan sedikit terpinggirkan. Para Mpu pembuat keris mungkin akan tetap berkarya, tapi hanva untukkebutuhan persenjataan terbatas. Sedangkan kita tahu bahwa setelah peristiwa pendudukan Keraton oleh Balatentara Kompeni Inggris, dan sejak ditandatanganinya perjanjian politik antara Thomas Stamford Raffles dan Sultan Hamengku Buwono III pada bulan Oktober 1813, kekuatan bersenjata Keraton menyurut drastis. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris Kasultanan Yogyakarta tidak lagi dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Personil dan system persenjataan dibatasi sedemikian rupa, sehingga Keraton tidak mungkin lagi untuk melakukan gerakan militer. Sejak itulah fungsi kekuatan bersenjata Keraton, tidak lebih dari pengawal Sultan dan penjaga lingkungan Keraton.
Pasca tahun 1830, Setelah berakhirnva Perang Diponegoro, Pemerintah Kolonial Hindia Belanda semakin mengurangi dan membatasi kekuatan militerKeraton. Meski memiliki hampir 1000 personel dengan berbagai jenis senjata, termasuk senjata api, namun keberadaannya sungguh tidak lebih hanya sebagai atribut pelengkap dalam kehidupan tradisi dan adat istiadat keratin. Hal ini membuat para Mpu senjata berkurang karyanya. Mereka hanya dibatasi membuat senjata untuk kepentingan Raja.
Seniman, perajin, dan Mpu Keris akhirnya banyak yang berdomisili dan membuat karya diluar benteng Kraton. Ada satu temuan yang menarik tentang hal ini. Diluar wilayah benteng Kraton, tentunya di daerah Gading Mataram, banyak ditemukan keris, tombak dan tosan aji lainnya dalam jumlah yang luar biasa baik secara kuantitas maupun kualitas. Karena keris dan tosan aji dari daerah ini terhitung banyak, sampai-sampai oleh beberapa kalangan keris dari wilayah Gading Mataram ini digolongkan kedalam kategori keris rucah atau keris rakyat. Wilayah ini antara lain adalah Bagelen dan Ngenta-enta (Ngento-ento).

Bagelen Diantara Utilitas dan Estetika.
Bagelen adalah sebuah wilayah di sebelah barat Jogjakarta yang menarik untuk dikaji. Bagelen meliputi wilayah Purworejo, Kebumen, sebagian Wonosobo dan Kutoarjo. Pada zaman kolonial Belanda, Bagelen adalah medan tempur Pangeran Diponegoro. Banyak prajurit Diponegoro dari Bagelen. Bahkan, di sini pulalah tentara Belanda banyak vang terbunuh.
Sejak zaman kerajaan Galuh-Tarumanegara, Bagelen dikenal sebagai pusat perkembangan agama Syiwa-Buddha di Jawa Tengah. Bahkan, pendiri Bagelen adalah putri Raja Syailendra atau yang disebut warga setempat sebagai Raja Suwela Cala. Di Bagelen juga banyak ditemukan yoni dan lingga peninggalan Wangsa Sanjaya dan Rakai Panangkaran yang beragama Hindu-Syiwa.
Bagelen yang dulu juga meliputi sebagian Wonosobo dikenal sebagai tempat pelarian pangeran dan kesatria Majapahit. Salah satunya adalah Pangeran Jayakusuma. Di Bagelen bagian selatan banyak pendeta Bhairawa Tantra, yang sakti. Maka, banyak prajurit tangguh dari wilayah ini. Urat nadi wilayah Bagelen, yaitu Sungai Bagawanta, konon merupakan tempatbegawan dan biksu tinggal dan bertapa. Karena itu, sungai itu dinamakan Bagawanta (dari kata begawan). Sebelumnya, berdasarkan prasasti peninggalan Wangsa Sanjaya, sungai ini bernama Ciwatukora.
Bagelen sejak jaman Sultan Agung merupakan wilayah tempat pengerahan pasukan infanteri vang handal. Pada jaman perlawanan pangeran Diponegoro, Bagelen menjadi salah satu basis atau markas perlawanan. Di daerah yang aman ini, mesiu dan aneka senjata dapat dibuat, termasuk keris dan segala macam tosan aji. Keris vang berasal dari wilayan ini hampir dipastikan memiliki karakteristik bahan yang khas, yaitu memiliki kandungan baja yang banyak.
Keris dari Bagelen lebih berat dibandinkan dengan keris Mataram lainnya. Kalau membuat luk tidak serengkol keris Mataram, bahkan hamper menyerupai keris luk yang keluar dari wilayah Segaluh. Pada umumnya keris dari wilayah ini berbentuk keris lurus. Keris Baggelen kurang memperhatikan estetika Pamor. Bahan pamor yang dipakai tidaklah sebagus bahan pamor Mataram, atau bahkan pamor yang keluar merupakan hasil wasuhan besi. Gradasi warna antara besi dan pamor tidak begitu kontras atau biasa disebut nyanak.
Keris bagelen memang kurang memperhatikan nilai 'estetika', Tapi tentunya penilaian estetis adalah penilaian yang cukup subyektif. 'Estetika’ pemberontak dan 'estetika' penguasa jelas berbeda. Bagi laskar Diponegoro, vang disebut 'estetis' mungkin adalah sebaik mana sebilah keris, pedang, atau tombak mampu bertahan, kuat, dan praktis untuk digunakan dalam pertempuran. Tampaknya keris Bagelen ini telah mewakili semangat 'estetis' bagi para laskar kraman Diponegoro. Estetisnya sebuah senjata atau pusaka adalah pada nilai fungsi 'atau utilitisnya.
Dimata laskar perlawanan, nilai fungsi sebilah keris sebagai senjata lebih diutamakan ketimbang nilai estetis yang lain. Sebilah keris lurus dengan kandungan baja vang lebih banyak, dengan dapur yang kadang-kadang melenceng dari pakem yang ada, lebih berdava guna dalam sebuah pertempuran. Mungkin juga para Mpu pembuat senjata bagi kelompok pemberontak waktu itu juga harus bertempur dengan waktu, sehingga nilai fungsi keris sebagai senjata lebih diutamakan ketimbang nilai'estetis'nva.

Ngenta-enta vs Ngayogyakarta
Ngenta-enta terletak di sebelah barat Godean Jogjakarta. Dan jaman Mataram, kawasan ini terkenal sebagai kawasan para Mpu pembuat keris. Diawal abad 20, hidup seorang Mpu bernama Kyai Supawinangun dan diawal abad 21 seorang penerusnya Ki Djena Harumbraja meninggal dunia. Dengan meninggalnya Ki Djena Harumbraja tradisi keris di wilavah ini berakhir.
Tangguh Ngenta-enta walaupun saat ini masuk dalam wilayah administratif Daerah Istimewa Yogjakarta memiliki karakteristik yang berbeda dengan tangguh Jogjakarta pada umumnya. Keris Ngenta-enta lebih bernuansa gaya Majapahit ketimbang dengan gaya Jogjakarta, walaupun gava Jogjakarta juga masih 'berbau' Majapahit. Kalau Keris Jogjakarta banvak menggunakan bahan pamor dari batu meteor prambanan, maka Keris Ngenta-enta menggunakan bahan pamor dari nikel murni. Secara keseluruhan penampilan Keris Ngenta-enta lebih 'gebyar' pamornya dibandingkan dengan Keris Jogjakarta.
Menariknya Mpu Supowinangun bekerja hanya atas perintah Kepatihan, bukan bekerja atas perintah Kraton. Saat itu Kraton memiliki Mpu sendiri, yaitu Mpu Prawiradahana dan Mpu Tarunadahana. Hal ini menunjukkan bahwa tradisi keris di Jogjakarta dibatasi oleh pemerintah Kolonial, sebab pada waktu itu Kepatihan secara administratif bertanggungjawab hanya kepada Residen bukan kepada Raja, Sejak Hamengkubuwana V, praktis pemerintahan Kerajaan Jogjakarta berada dibawah perintah pemerintah Kolonial Belanda, Kraton tidak lagi memiliki kemerdekaan dan kedaulatan.

Mistik Keris adalah Sebuah “Mistake”
Sedikit kembali ke era Sultan Hamengkubuwana V. Setelah situasi sedikit mereda Sultan Hamengkubuwana V berinisiatif untuk membangkitkan kembali tradisi Jawa-Mataram. Karena terlalu lelah dengan masalah perang Jawa yang cukup 'merepotkan' kalangan istana, Sultan Hamengkubuwana V lebih percava dan menaruh harapan akan masa depan. pemerintahannya kepada ResidenBelanda. Namun Sultan butuh sebua legitimasi kultural yang akan menambah wibawa kekuasaannva. Perang Jawa yang melelahkan telah menguras energi dan wibawa Raja dihadapan rakyat. Fakta bahwa separoh penduduk Jawva umunnya dan Ngayogjakarta Hadiningrat khususnya berpihak pada pemberontak Diponegoro. Seorang pangeran pemberontak yang lebih dicintai rakyatnya ketimbang Raja. Melihat hal ini Sultan Hamengkubuwana V ingin bermain-main dengan kesadaran magis rakyatnya.
Sultan menjalankan provek untuk mengumpulkan semua pusaka Kraton dan bukan hanya yang tersebar dan dimiliki oleh kalangan bangsawan maupun umum. Semua benda-benda vang dianggap keramat tersebut harus kembali ke perbendaharaan pusaka Kraton. Pusaka vang berwuiud keris, pedang, tombak, dan sejenisnva dianggap mampu membius kesadaran rakyat untuk tidak melawan Raja. Selain itu Raja juga memerintahkan untuk menduplikat beberapa pusaka Kraton, seolah-olah kurang percava pada pusaka vang telah ada. Untuk provek ini ditunjuklah Tumenggung Riyakusuma sebagai pemimpin atau 'jejeneng daripara Mpu kolektif.
Kehadiran seorang Diponegoro yang dipercava sebagai Erucakra, Mesiah, atau Ratu Adil berakibat pada jatuhnya wibawa Raja pada titik nadir. Mitos Ratu Kidul dan Eyang Jagad di gunung Merap, sirna oleh sosok Erucakra yang menjelma ke dalam sosok Sinuwun Kanjeng Sultan Ngabdulkamid Herucakra Kabiri Mukminin Kalipah Rasullullah Jawa alias Diponegoro. Dan sosok sang Ratu Adil sirna oleh penangkapannya dalam sebuah persekongkolan jahat di Magelang (ditangkapnva Diponegoro). Harapan akan munculnva Ratu Adil sirna dengan berakhirnva perlawanan Diponegoro.
Dan semua seperti tersadar oleh sebuah pelajaran balwa mistik dalam sebuah mitos adalah sebuah mistake.

Rabu, 19 November 2008

Parungsari Wos Wutah

DAPUR PARUNG SARI
Rician : Luk tiga belas, kebang kacang, jalen lambe gajah dua, pijetan tikel alis, sogokan rangkap, greneng (terkikis), ada-ada
Pamor : Wos Wutah
Tangguh : Mataram Sultan Agung
Warangka : Gayaman Surakarta
Pasikutan : Wingit, dhemes, luwes.
Asal : ML



Sengkelat


















































DAPUR SENGKELAT




Ricikan : luk 13, kembang kacang, jalen, lambe gajah doble, pijetan, tikel alis, sogokan rangkap greneng





Pamor : Wos Wutah
Tangguh : Mataram PB





Warangka : Gayaman jati Surakarta




Hulu : jati tunggak semi wanda yudo winatan Surakarta




Mendak : old meniran polos tembaga




Pendok : Blewahan tembaga





Pasikutan : sederhana, wingit, lembah manah radi wangun namung teguh lan ksatria.
Asal : ML

Selasa, 18 November 2008

Senin, 17 November 2008

KARA WELANG TIRTA TEDJO

KARA WELANG TIRTA TEDJA

Descriptions :
Keris Luk 13
Dapur : Kara Welang
Pamor : Tirta Teja
Jenis Pamor : Tiban
Tangguh : Madiun (Estimated made about 17th century)
Wrangka : Ladrang Surakarta Gandar Iras (new made)
Wrangka Material : Kemuning Wood
Handle : Nunggak Semi Surakarta (new made)
Handle Material : Kemuning Wood
Mendak : Krawangan (new made)
Mendak Material : Copper
Selut : Jeruk Keprok Surakarta Krawangan (new made)
Selut Material : Copper
Pendok : Blewah Surakarta (new Made)
Pendok Material : Copper
Length of the Blade : 31 Cm.
Overall Length : 50,5 Cm.

Asal : MH